Minggu, 04 November 2012

I La Galigo

Sureq Galigo
Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19
Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.
Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.
Isi hikayat La Galigo
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
La Galigo dalam seni pentas
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
[suntingPranala luar
Rujukan
Referensi
1.    ^ a b c d e Wayne Arnold. "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth ", The New York Times, 7 April 2004. Diakses pada 4 September 2008.
2.    ^ a b Helen Shaw. "Micromanaging Indonesia ", (The New York Sun), 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.
3.    ^ a b c d Edward Rothstein. "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive ", The New York Times, 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.
4.    ^ a b Carla Bianpoen. "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo' ", (The Jakarta Post), 4 April 2004. Diakses pada 26 September 2008.

Sejarah Orang Bugis

Orang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).

Bagi suku-suku lain disekitarnya orang bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan mereka orang bugis bersedia melakukan tindak kekerasan walaupun nyawa taruhannya. Namun demikian dibalik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.

Orang eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah bugis adalah orang Potugis. Para pedagang eropa itu mula-mula mendarat dipesisir barat sulawesi selatan pada tahun 1530. akan tetapi pedangan portugis yang berpangkalan dimalaka baru menjalin hubungan kerjasama dalam bidang perdagangan secara teratur pada tahun 1559

ASAL USUL ORANG BUGIS
Asal usul orang bugis hingga kini masih tidak jelas dan tidak pasti berbeda dengan wilayah Indonesia. Bagian barat Sulawesi selatan tidak memiliki monument (hindu atau budha) atau prasasti baik itu dari batu maupun dari logam, yang memungkinkan dibuatnya suatu kerangka acuan yang cukup memadai untuk menelusuri sejarah orang bugis Sejak abad sebelum masehi hingga kemasa ketika sumber-sumber tertulis barat cukup banyak tersedia. Sumber tertulis setempat yang dapat diandalkan hanya berisi informasi abad ke 15 dan sesudahnya

KRONIK BUGIS
Hampir semua kerajaan bugis dan seluruh daerah bawahannya hingga ketika paling bawah memiliki kronik sendiri. Mulai dari kerajaan paling besar dan berkuasa sampai dengan kerajaan paling terkecil akan tetap hanya sedikit dari kronik yang memandang seluruh wilayah di sekitarnya sebagai suatu kesatuan. Naskah itu yang dibuat baik orang makassar maupun orang bugis yang disebut lontara oleh orang bugis berisi catatan rincian mengenai silsilah keluarga bangsawan, wilayah kerajaan, catatan harian, serta berbagai macam informasi lain seperti daftar kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah bawahan, naskah perjanjian dan jalinan kerjasama antar kerjaan dan semuanya disimpan dalam istana atau rumah para bangsawan

Lontara Bugis

SIKLUS LA GALIGO
                                               
Naskah La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama 6 (enam) generasi turun temurun, Pada berbagai kerajaan di sulawesi selatan dan daerah pulau-pulau disekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke 20 Masehi naskah la galigo secara luas diyakini oleh masyarakat bugis sebagai suatu alkitab yang sacral dan tidak boleh dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu.

Hingga kini versi lengkap siklus la galigo belum ditemukan dari naskah-naskah yang masih ada. Banyak diantaranya hanya berisi penggalan-penggalan cerita yang dimulai dan diakhiri dengan tiba-tiba atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dari episode yang kadang-kadang tidak bersambung. Namun demikian banyak sastrawan bugis dan orang awam didaerah-daerah tertentu yang mengetahui sebagian besar dalam cerita siklus tersebut mereka memperolehnya dari tradisi lisan.

Siklus la galigo telah melalui proses penyusunan secara bertahap sebelum pada akhirnya menjadi sebuah karya besar. Mula-mula hanya garis besar latar dan jalan cerita saja yang diciptakan, termaksud silsilah para tokoh utamanya.

Untuk mengkaji sastra bugis itu para ilmuan beruntung dapat mengandalkan hasil jerih payah ilmuan asal belanda R.A. Kern yang menerbitkan catalog lengkap mengenai seluruh naskah la galigo yang kini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan eropa dan perpustakaan Matthes di makassar. Dari 113 Naskah yang ada yang terdiri atas 31.500 Halaman R.A Kern Menyaring dan membuat ringkasan setebal 1356 Halaman yang merincikan Ratusan Tokoh yang terdapat dalam seluruh cerita.

La Galigo merupakan epos terbesar didunia dan epos tersebut lebih panjangan dari Epos Mahabharata. Naskah la galigo terpanjang yaitu dikarang pada pertengahan abad ke 19 atas tanggung jawab seorang perempuan raja bugis yang bernama I Colli Puji’e Arung Tanete naskah setebal 2851 Halaman polio tersebut diperkirakan mengandung sepertiga dari pokok cerita seluruhnya.

HIPOTESIS REKONSTRUKSI PRASEJARAH BUGIS
Sejak awal mungkin 50.000 tahun yang lalu sulawesi selatan sebagaimana daerah lain dipulau asia tenggara telah dihuni manusia yang sezaman dengan manusia wajak di jawa mereka mungkin tidak terlalu beda dengan penghuni Australia pada masa itu di asia tenggara, mereka mengalami proses penghalusan bentuk wajah dan tengkorak kepala meski memiliki Fenotipe Australoid.

Pada permulaan abad ke 20, penjelajah asal swiss yakni Paul Sarasin dan sepupuhnya Fritz Sarasin mengemukakan sebuah hipotesis bahwa to’ale (Manusia Penhuni hutan) sekelompok kecil manusia yang hidup diberbagai gua dipegunungan Lamocong (Bone bagian selatan) adalah keturunan langsung dari manusia penghuni gua pra sejarah dan ada hubungannya dengan manusia Veddah di srilangka

CARA HIDUP DAN KEBUDAYAAN AWAL BUGIS
                                     
Kehidupan sehari-hari orang bugis pada hamper seluruh millennium pertama masehi mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan cara hidup orang toraja pada permulaan abad ke 20. mereka hidup bertebaran dalam berbagai kelompok di sepanjang tepi sungai, dipinggirin danau, di pinggiran pantai dan tinggal dalam rumah-rumah panggung. Sebagai pelengkap beras dan tumbuhan lading lain. Merekapun menangkap ikan dan mengumpulkan kerang. Orang bugis dikenal sebagai pelauk ulung dengan menggunakan Phinisi mereka mengarungi samudra dengan gagah beraninya disamping itu pula orang bugis sangat pandai dalam bertani dan berladang. Bertenun kain adalah salah satu keterampilan nenek moyang orang bugis.

Orang bugis pada masa awal itu kemungkinan besar juga mengayau kepala untuk dipersembahkan acara ritual pertanian dan kesuburan tanah. Pada umumnya orang bugis mengubur mayat-mayat yang sudah meninggal, meski ada pula mayat yang di benamkan (danau atau laut) atau disimpan di pepohonan. Situs-situs megalitikum yang pernah nenek moyang mereka mungkin merupakan saksi kegiatan penguburan ganda atau penguburan sekunder. Kepercayaan mereka masih berupa penyembahan arwah leluhur. Terhadap para arwah itu sesajen-sesajen dipersembahkan lewat perantara dukun.

BUDAYA BENDAWI
Pakaian
Gambaran tentang tokoh-tokoh dalam La galigo dapat diperoleh dengan melihat pakaian yang dikenakan Pengantin Bangsawan tinggi masa itu, yang selalu meniru-niru adapt kebiasaan masa lalu pria dan wanita mengenakan sarung hingga mata kaki (sampu’ ,yang dinamakan unrai bagi perempuan), menyerupai awi’ yang kini digunakan pengantin laki-laki. Pada perempuan sarung tersebut dililit dengan sebuah ikat pinggan logam. Sedangkan pada pria, sarung di lilit dengan sabuk tenunan dan diselipkan sebuah senjata tajam atau badik (gajang)

Rumah Adat
Baik para bangsawan dan rakyat biasa tinggal dirumah panggung, namun istana (langkana atau sao kuta bagi dewa-dewa) sama dengan rumah biasa, namun ukuranya lebih besar dengan panjang sekurang-kurang nya 12 Tiang dan lebar 9 Tiang. Rumah tersebut memiliki tanda khusus untuk menunjukkan derajat penghuninya.

Tarian Dan Hiburan Rakyat
Tarian yang sering digunakan untuk menjamu tamu kadang-kadang menarikan tari “maluku” (sere maloku) . namun tidak disebutkan adanya pembacaan naskah secara berirama (ma’sure’selleng) yang sangat popular dilakukan pada acara-acara seperti itu di lingkungan bangsawan hingga abad ke 20.

Hiburan utama adalah sabung ayam atau adu perkelahian ayam (ma’saung) hamper disetiap istana dibawah pohon cempa (ri awa cempa) berdiri gelanggang atau arena sabung ayam ber atap tapi tidak berdinding.

Hiburan rakyat lainnya adalah “raga” sebuah permainan kaum pria dalam suatu lingkaran yang memainkan bola rotan anyaman yang menyerupai bola takraw. Bola tersebut tidak dibolehkan menyentuh tanah atau tersentuh tangan. Pemenangnya adalah pemain yang paling lama memainkan bola dengan kaki atau badannya (selain tangan) dan dapat menendang bolanya paling tinggi ke udarah.

PERANG
Boleh dikatankan perang dalam taraf tertentu merupakan hiburan bagi kaum lelaki. Juga merupakan medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to warani). Alat yang digunakan dalam peperangan adalah Sumpit (seppu’) dengan anak panah beracun, Tombak (bessi), pedang pendek (alameng), senjata penikam atau badik (gajang)

Perlengkapan Perang Orang Bugis

MASYARAKAT LA GALIGO
Masyarakat yang digambarkan dalam epos La Galigo tampak sangat hirarkis. Datu, sang penguasa orang yang paling terkemuka dalam kerajaan. Dialah yang menjaga keseimbangan lingkungan , baik itu lingkungan alam maupun lingkungan social, dan merupakan pewaris keturunan dewa dimuka bumi.

Sebenarnya bukan hanya datu tetapi seluruh bangsawan dalam tingkatan tertentu ikut memegang status keramat, karena mereka semua dianggap sebagai keturunan dewata. Mereka semua dipercaya memiliki darah putih (dara takku). Dalam dunia bugis kuno kalangan biasa yang berdarah merah dipandang memiliki perbedaan Fundamental dari bangsawan berdarah putih yang membawa esensi kedewataan kemuka bumi.

Referensi Buku : Manusia Bugis
Catatan : Hanya satu yang tidak terdapat dalam manusia bugis yaitu “Orang Bugis adalah pelaut Ulung” yang dimana pada buku manusia bugis membantah bahwa itu adalah kepercayaan yang salah buat orang bugis. Tapi saya pribadi yang menulis Bugis-Ku akan tetap mempercayai bahwa Nenek Monyang Orang Bugis adalah Pelaut Ulung.

Kredit kepada: http://lagaligo.net/

Epos I La Galigo : Dari Langit, Kembali ke Langit

Seorang lelaki berusia senja, terkulai lemas dalam satu kamar tidur berukuran 3x3 meter. Ia sudah bersiap pasrah untuk menyambut kematiannya. Tanda-tanda itu sudah bisa diduganya. Dari kedatangan sosok mahluk gaib berpakaian hitam dalam mimpinya. Sosok itu membawa ke alam bawah sadarnya, ke suatu tempat yang sudah asing baginya.
“Semalam ada sosok hitam datang. Ia datang tersenyum dan mengajak ke suatu tempat yang indah,” ujar pria tua itu. Ia terdiam sambil mengatur kembali nafasnya.
Kemudian bercerita lagi. “Tempat itu begitu indah. Ada air terjun yang airnya jernih. Bukit-bukit dan rumput yang hijau. Dan sungai yang mengalir dengan airnya yang bersih.”
Sosok tua ini, aku mengenalnya bernama La Nibe. Ia orang asli Ussu, Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Seorang anak keturunan Cerekang. Tempat yang menjadi asal muasal kebesaran masyarakat Bugis dengan tokoh besar Sawerigading yang termuat dalam karya sastra I La Galigo.
Ia tinggal di Jakarta. Seorang perantauan pasca pembersihan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar. Masa perjuangan itu, ia dikenal sebagai komandan batalyon wilayah Tenggara. Tugasnya, membersihkan rintangan jalur yang akan dilewati Kahar Muzakkar.
“Tentara ditipu oleh Kahar Muzakkar. Kahar membawa-bawa nama Islam untuk kepentingannya. Padahal, tujuan utama dari tentara di Sulawesi Selatan adalah meminta pengakuan dan kedaulatan dari pemerintahan Soekarno,” kenangnya
Kisah soal Batara Guru, Sawerigading, maupun karya I La Galigo, La Nibe memang tak terlalu banyak tahu dari referensi atau melihat langsung karya sastra apik itu, Namun, ia lebih mengenal legenda itu dari teturunannya langsung. Tentang petunjuk-petunjuk, tradisi, dan segala pola laku yang harus dilakukan oleh para teturunannya. Bahkan mitos-mitos yang kerap secara tidak sadar terjadi pada dirinya.
Dan mau tidak mau, La Nibe tidak bisa menolak petuah yang sudah berlangsung turun menurun. Baginya, petuah itu merupakan bagian garis hidupnya. Sudah menjadi harga mati yang sulit ditawar lagi. “Sudah ada petunjuk sendiri petuah itu datang. Dan tidak bisa ditolak lagi. Karena datang tanpa disadari, namun dilanggar baru dapat dirasakan,” ujarnya.
Tantangan itu seperti diharamkan memakan pisang manurung atau pisang gepok. Pisang jenis ini oleh para teturunan Sawerigading, ditasbihkan sebagai tubuhnya sendiri. Jika teturunannya yang “ditunjuk” memakannya, sakit akan mendera pada dirinya. “Ibarat makan diri sendiri,” tuturnya.
“Makan satu pisang, maka sakit yang harus ditanggung bisa tiga hari lamanya. Jika sampai makan lebih dari satu pisang, muntah darah akan dialaminya. Dan itulah yang kerap terjadi. Makanya, akhirnya petuah itu disampaikan kepada anak-anaknya untuk seupaya mungkin tidak memakan pisang gepok,” ujar La Nibe.
Riwayat “haram” pisang gepok, punya keterkaitan dengan lahirnya Sawerigading di bumi. Pada epos I La Galigo, Sawerigading dilahirkan terbungkus bambu betung atau bambu kuning. Dalam kisah-kisah terjemahan saat ini, tidak ada yang menyinggung sama sekali soal riwayat pisang gepok yang menjadi pembungkus untuk menghangati Sawerigading saat dilahirkan.
Saking hangatnya daun pisang gepok, akhirnya menyatu dalam daging tubuh Sawerigading. Ketika buah pisangnya akan dijadikan makanan, maka oleh Batara Guru tidak diperbolehkan. Maka keluarlah petuah, bagi teturunannya tidak diperbolehkan makan pisang itu. Entah buah, daunnya atau seluruh bagian dari pisang itu.
“Agar tidak dilanggar oleh teturunannya, maka Cerekang yang tadinya ditumbuhi pohon pisang gepok, sampai sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Pernah ada yang mencoba menanamnya, tapi selalu tidak berbuah dan mati,” ujar La Nibe.
Dalam hal perkawinan. Nikah antara saudara sepupu, tidak menjadi hal yang dipertantangkan. Dari pandangan medis, nikah yang dilakukan antar gen yang masih satu darah cenderung akan melahirkan anak dengan mental kurang normal. Bagi keturunan Sawerigading, hal itu terbantahkan.
Dalam legenda Sawerigading, ia menikah dengan sepupu satu kalinya, We Cudai. Ia anak dari Remmang Li Langi, adik kandung La Toge’Langi (Batara Lattuq) ayah Sawerigading.
Kenyataannya, hingga saat ini perkawinan sepupu tetap dianggap sah-sah saja dan tidak mengganggu keturunannya. Anak-anaknya terlahir normal dan tidak ada gangguan sama sekali dari kejiwaannya. Yang sangat diharamkan adalah perkawinan saudara satu kandung.
Mengenai kepercayaan, Orang ‘Ussu’ atau teturunan Sawerigading tidak mengenal secara khusus kepercayaannya. Mereka mengakui Islam sebagai agama bumi, tapi tidak melakukan ajarannya. Menyakini, agama bumi adalah yang sebatas identitas duniawi. Tapi dianggap tidak bisa menjamin keberadaannya, setelah priode kehancuran bumi.
Namun berdasarkan referensi, sejak Islam belum banyak dianut di daratan Sulawesi, hampir semua masyarakat memunyai kepercayaan yang disebut To Lotang. Penganutnya memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut "Dewata Seuae". Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan periode kedua. Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan pengikutnya.
Beberapa masyarakat di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, kepercayaan To Lotang hingga saat ini masih terus dianutnya. Kepercayaan itu, kitab sucinya adalah La Galigo dan Sawerigading dianggap Nabi. Namun setelah masuknya agama Islam, akhirnya terbagi dua aliran. To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng.
Aliran To Lotang To Wani pada dasarnya, melaksanakan agama leluhur secara murni. Sedangkan To Lotang To Benteng menjadikan agama Islam sebatas perkawinan dan kematian, namun sehari-harinya melaksanakan ajaran To Lotang.
Pada aliran To Lotang To Wani, ajarannya tidak mengikuti Sawerigading, namun mengikuti ajaran La Pannaungi. Perkawinan dan penyelenggaraan kematian, dilaksanakan oleh adatnya sendiri.
Sedangkan To Lotang To Benteng, mengakui sebagai penganut langsung Sawerigading. Tapi mereka mengakui keberadaan agama Islam. Acara perkawinan dan kematiannya menerapkan ajaran Islam. Dan aliran ini memercayai adanya perjalanan langit tujuh dan bumi 7 lapis.
“Saya tidak tahu aliran atau agama itu. To Lotang atau jenis lainnya,” kata La Nibe. “Islam hanya bagian dari kepercayaan masing-masing dan memang diakui. Namun dalam kepercayaan keturunan Cerekang. Tidak harus menjalani syariat Islam. Seperti sembahyang.”
Kepercayaan bagi keturunan Sawerigading adalah, adanya tempat yang sudah disiapkan oleh raja langit bagi para teturunannya yang berada di bumi. Ketika terjadinya priode kehancuran manusia, maka mereka percaya ada tempat sendiri yang tidak disatukan oleh manusia bumi lainnya.
Keyakinan dipegang teguh hingga saat ini, meyakini bahwa mereka adalah keturunan La Patiganna atau La Toge’Langi dari Kerajaan Langit dan Guru Ri Selleng dari Kerajaan Gaib.
Hingga saat ini, mereka masih meyakinin bahwa kematiannya akan disambut oleh para leluhurnya di ‘surga’ langit. Sebelum datangnya kematiannya, mereka akan diperlihatkan satu tempat yang indah oleh sosok manusia gaib berjubah hitam agar bisa pasrah menyambut kematiannya. Sosok berpakaian berjubah hitam itu, dianggap sebagai utusan kerajaan gaib Guru Ri Selleng yang bertugas membuka jalan dan membukakan pintu langit bagi para teturunan Sawerigading.
“Sosok itu sering datang. Bahkan hampir sering memperlihatkan dirinya dengan jelas. Namun tidak pernah bisa mengingat wajahnya,” ujar La Nibe.
Sebulan setelah sosok manusia gaib berjubah hitam itu datang, nafas hidup La Nibe mulai kembang kempis. Ia tahu, hidupnya di bumi akan segera berakhir dan sudah harus bersiap diri untuk menuju kehidupan langit. Diyakini akan bertemu dengan teturunan lainnya. Dan ia menghembuskan nafasnya. Mati.
II
Epos I La Galigo, tak lepas dari nama sosok Sawerigading yang menjadi tokoh utama dalam legenda itu. Kisah ini berawal ketika kerajaan di langit mengetahui adanya wilayah bumi yang masih kosong. Raja La Patiganna mengadakan musyawarah dengan keluarga dari kerajaan langit lainnya, Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Dalam pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar adanya utusan dari kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi. Akhirnya, terpilihlah anak La Patiganna bernama La Toge’Langi yang dinikahkan dengan sepupunya sendiri, We Nyili’Timo. We Nyili’Timo adalah putri Guru Ri Selleng dari kerajaan gaib.
La Toge’Langi dinobatkan menjadi Raja Alekawa (Bumi) dengan memakai gelar Batara Guru. Untuk mendapatkan gelar itu, Batara Guru harus menjalani masa ujian selama 40 hari 40 malam. Usai berakhir, akhirnya pasangan itu diturunkan di Ussu. Satu wilayah di Sungai Cerekang, Kabupaten Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dari perkawinan Batara Guru dengan We Nyili’Timo, lahirlah seorang anak bernama La Tiuleng yang bergelar Batara Lattuq yang sekaligus menjadi pangeran kerajaan Luwu. Setelah dewasa, Batara Lattuq dinikahkan oleh anak La Urumpassi, We Datu Sengeng. Usai pernikahan, akhirnya Batara Guru dan istrinya kembali ke langit. Maka, tahta kerajaan diserahkan kepada Batara Lattuq.
Dari perkawinan Batara Lattuq dengan We Datu Sengeng, maka lahirlah anak kembar emas. Yang laki-laki diberi nama Sawerigading, dan yang perempuan bernama We Tenriabeng. Saat proses kehamilan Sawerigading, ia ditempatkan dalam satu batang bambu betung. Dan nama yang disematkan memunyai makna Sawe berarti menetas dan Ri Gading berarti di atas bambu (bentung).
Namun sebelum anak kembar emas itu lahir, Batara Guru sudah berpesan kepada Batara Lattuq, agar kedua anak emasnya dipisahkan. Karena, Batara Guru melihat tanda-tanda, jika dewasa nanti Sawerigading akan terpicut dan jatuh hati pada adik kembar perempuannya itu.
Jika perkawinan antara Sawerigading dengan We Tenriabeng terjadi, maka sudah dianggap melanggar ketentuan alam bumi dan langit. Maka, akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri akan mengalami bencana yang luar biasa.
Ternyata tanda-tanda yang dikhawatirkan Batara Guru atas Sawerigading terhadap adik kembar emasnya, terjadi. Ketika diam-diam melihat sosok We Tenriabeng, Sawerigading langsung terpicut dan jatuh hati, bahkan ingin menikahinya. Atas gelagat itu, rencana itu mendapat tentangan dari rakyat.
Karena tidak ingin melanggar dan terjadi bencana bagi kehidupan di bumi, We Tenriabeng membujuk Sawerigading untuk tidak melanggar pantangan yang sudah diultimatum oleh ayahnya, Batara Guru.
We Tenriabeng kepada Sawerigading mengatakan, masih ada sosok perempuan yang wajah dan perawakannya sama persis dengan adik kembar emasnya itu. Namanya We Cudai yang masih berdarah sepupu. Adalah putri dari La Sattumpugi dari Kerajaan Cina yang sekarang berada di daerah Pammana, Wajo, Sulawesi Selatan. La Sattumpugi adalah adik dari Batara Lattuq.
Keberangkatan Sawerigading penuh dengan rasa kecewa dan ia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya di tanah Luwu. Ia akhirnya berangkat ke Kerajaan Cina. Dan bersamaan dengan itu, We Tenriabeng langsung naik ke langit dan menikah dengan Remmang Ri Langi.
Di Kerajaan Cina, Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Ia harus bertarung dengan tunangan We Cudai, Settiaponga. Sawerigading menaklukkannya dalam pertempurannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Kerajaan Cina.
Akhirnya, Sawerigading menikahi We Cudai. Dari perkawinannya, melahirkan anak pria bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah, yang akhirnya menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dan dari masa kejayaan I La Galigo, ia membuat karya sastra monumentar tentang silsilah keluarganya sendiri. Kisah yang sebenarnya biasa saja, namun masa yang membedakannya.
I La Galigo menuliskannya dalam lembaran lontara. Ia menceritakan bagaimana asal muasal turunannya ada di bumi dari langit. Dalam epos itu juga, I La Galigo menceritakan ayahnya, Sawerigading yang memunyai nama besar dalam kehidupan masa masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Dan akhirnya, menjadi legenda tersendiri bagi masyarakat Cerekang dan sekitarnya, serta didaku menjadi sosok besar kehidupan bumi.
III
Kisah-kisah Sawerigading dengan epos kebesaran cerita I La Galigo, sudah kian santer seantero negeri ini dan dunia. Seakan menjadi catatan maha penting tentang keberadaban masyarakat Suku Bugis, Sulawesi Selatan. Bahkan menjadi helaian untuk lembaran terbesar sejarah manusia bumi.
Naskah Galigo diperkirakan lebih panjang satu setengah kali dari hikayat India, Mahabarata. Jumlah halaman naskah ini diperkirakan mencapai 6.000 lembar. Setiap halaman folio mengandung sekitar 50 baris, dengan suku kata antara 10 dan 15. Artinya, bisa diperkirakan, seluruh cerita / La Galigo panjangnya sekitar 300 ribu baris.
Naskah Galigo yang mencapai 300 ribu baris, aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal, Leiden, Belanda.Bandingkan dengan naskah Mahabarata yang hanya sekitar 160 ribu-200 ribu baris.
Rajutan cerita I La Galigo tidak serta merta hanya menjadi legenda atau mitos semata, jejak-jejak itu hingga kini masih terus dipelihara dan mendarahdaging bagi para teturunannya. Sehingga tidak hanya sekedar satu alur tentang kebesaran, melainkan rangkaian jalan hidup yang akhirnya mau tidak mau harus dilakukan oleh para keturunannya hingga saat ini.
Berawal dari Sungai Cerekang. Dalam legenda I La Galigo, inilah sungai yang menjadi labuhan Sawerigading. Adalah satu perkampungan yang dikenal sebagai suku ‘Ussu’ di Kampung Cerekang. Berada di perbatasan antara Wotu (Luwu Utara) dan Malili (Luwu Timur).
Saya sempat mendatangi kembali sungai legendaris itu. Tak luas-luas banget, sekira lebar lima meter. Sungai itu, mengalir hingga ke laut lepas. Beberapa rumah penduduk asli Cerekang, masih terus bertahan. Pemukiman itu, kebanyakan berada di pinggiran jalan poros trans ujung tenggara Sulawesi Selatan. Masih ada perahu-perahu kecil (ketinting) yang bersandar.
Namun, tak ada lagi pemukiman di bagian sungai paling dalam ke arah perbukitan. Semakin ke dalam bagian sungai, kian menyempit. Bahkan hanya terlihat semak belukar dan hutan belantara. Suasana benar-benar senyap. Kerap merinding. Seram.
Cerita yang berkembang di masyarakat itu, sungai itu sekarang di huni oleh seekor buaya putih yang menjadi penjaga sungai Cerekang. Buaya yang dapat berjalan layaknya manusia dan dapat mengenal darah teturunan Cerekang atau tidak. Konon, wilayah yang dijaganya adalah gerbang kerajaan Batara Guru yang merupakan ayah kandung Sawerigading. Tokoh utama legenda cerita I La Galigo.
Bagi teturunan Sawerigading, mitos dan fakta hanya beda-beda tipis. Apalagi, bagi keturunan yang mendapatkan petuah atau amanah atas kesaktian dan kebesaran Kerajaan Langit dan Kerajaan Gaib, maka akan dibekali kekuatan supranatural yang tidak dimiliki oleh keturunan lainnya.
Malili merupakan wilayah yang dikeliling perbukitan dan Sungai Malili hingga ke lautan. Masyarakat setempat sangat percaya, keberadaan manusia pertama bumi, Sawerigading, tidak hanya sekedar legenda. Keyakinannya berdasarkan benda-benda alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading.
Saya sempat mendatangi beberapa tempat yang menjadi hikayat rakyat Sulawesi Selatan. Tempat yang berkaitan dengan Sawerigading adalah Pulau Bulupoloe. Dengan menggunakan ketinting (perahu kayu) dari Pelabuhan Belantang, Malili, ibukota Luwu Timur, menempuh waktu dua jam mengarah ke laut lepas.
Hikayat Pulau Bulupoloe, tempat itu adalah bekas timpaan pohon Welenreng yang rebah untuk dijadikan perahu Sawerigading saat akan berangkat ke Kerajaan Cina di tanah Wajo. Tujuannya, menjumpai sepupu yang akhirnya dijadikan istrinya, We Cudai. Rebahan pohon itulah, yang membentuk pulau.
Kisah La Galigo tidak hanya sekedar dianggap karya sastra belaka, namun juga menyebar dalam bentuk lisan ke berbagai daerah. Tak hanya dikenal masalah Sulawesi semata, tapi menyebar hingga Kalimantan dan Semenanjung Malaysia.
Menurut Nurhayati Rahman dalam disertasinya Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina: Analisis Filologi dan Semiotik I La Galigo, karya La Galigo telah menempatkan dirnya menjadi karya sastra yang mampu merefleksikan dirinya dan menghegemoni dalam masyarakat.
Sebagai karya sastra, La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan etikanya. Keindahannya La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma, serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya.
Peristiwa dan tokoh dalam La Galigo, bagaikan satu pertunjukan menyangkut suasana kehidupan manusia Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman. Sehingga, karya itu memiliki estetika yang tinggi dan punya manfaat sebagai sarana kebudayaan untuk kehidupan kemanusiaan.
Dari kenyataan itu, nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo, masih tertanam dalam diri masyarakat dan budaya manusia Bugis. Tidak goyah walau adanya desakan yang kuat oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi. Sehingga, kehilangan jejak sejarahnya. Kini, hanya jejak keturunan individu yang masih bisa merangkaikan kebesaran karya sastra I La Galigo.
Syair indah yang dilontarkan oleh Batara Lattuq (Yakni Ayahanda Sawerigading) kepada We Datu Sengngeng (Yakni Ibunda Sawerigading);
Bahasa Bugis
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Terjemahannya
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta

Menelusuri Jejak We Tenriabeng

Salah seorang pemeran utama wanita dalam Epos Lagaligo yang kurang terlihat peranannya dalam pemerintahan Kedatuan Luwu adalah We Tenriabeng (Tandiabe), saudari kembar Sawerigading.Permaisuri dari Remmang ri Langi alias Hulontalangi (Raja pertama Gorontalo) alias Tamboro Langi(Tokoh sejarah suku Toraja) ini, sesungguhnya pernah tampil sebagai Datu di Luwu, mengisikekosongan kekuasaan Pasca Batara Lattu. Kekosongan kekuasaan terjadi karena Tana Luwu ditinggal pergi oleh Sawerigading, yang bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tana Luwu.

La Galigo di Gorontalo

Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang ...telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tominidan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementaraHulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat keTiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan BugisLuwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo

Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembarayang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3ANr0dHvPZO30J%3Awww.gorontalo-info.20megsfree.com%2Fasb.html+hulontalangi+tilong+kabila&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

Nama-Nama Raja Luwu yang yang terdapat dalam Silsilah Melayu dan Bugis pada masa Galigo
menurut Buku Andi Djemma Datu Luwu

  1. SITI MALANGKE (Datue ri Malangke’?) ratu di tanah Bugis Silayang.
  1. DATU PALINGI’I (Datu Palinge’ ?) : buku Galigo : Mutia Unru’ Datu Palinge ri Senrijawa, permaisuri La Patiganna Aji’ Sangkuru Wira, Patoto’-e).
  1. PATUTUI’ (Galigo : Patotoe, suami Mutia Unru’ Datu Palinge’, jadi bukan anaknya Datu Palinge,nama asli La Patiganna).
  1. BETARA GURU (Galigo : La Toge’langi bergelar Batara Guru, Raja Pertama Luwu’).
  1. BETARA LATTO’ ( Galigo : La Tiuleng, bergelar Batara Lattu’, Raja Luwu II).
  1. TATA (Galigo: La Tenritatta’, Pajung Masagalae ri Luwu’, Raja Luwu III dan terakhir pada periodeGaligo).
  1. SAUNG RI WARA’ LATTALAKA (Saung ri ware’?) naskah GALIGO: SIMPURUSIANG, anak WeTenri Abeng, saudara kembar Sawerigading, dan Remmang ri Langi’: raja pertama periode Lontara’Sejarah).
  1. SIAJANGE KURINNA (Lontara’ : ANAKAJI yang kawin dengan We Tappacina, anak Datue riMACCAPAI (MAJAPAHIT) : Datu Luwu II).

SOMBA OPU PERTAMA

SAWERIGADING (Galigo: La Maddukelleng To Appanyompa bergelar Sawerigading, Opunna Ware’-tidak pernah menjadi Raja Luwu’. Ia adalah suami We Cudai Daeng Ri Sompa, Datunna Tana Ugi’(Ratu Bugis II). LA GALIGO (Galigo: La Galigo To Padammani, Datunna Tana Ugi’ III pun tidak  pernah menjadi Raja Luwu’).

Meski tidak tercatat sebagai Raja di Luwu, nama Sawerigading justru tercatat sebagai Raja di KerajaanGowa. Menurut Forum Award Clasical Studies Britannica Internet Guide Award. Sawerigading tercatatsebagai Raja ke-3 Kerajaan Gowa. Catatan ini dapat menjadi indicator kuat bahwa yang menjadiSomba Opu pertama adalah Sawerigading. Somba Opu dapat bermakna: Raja di Kerajaan Gowa namuntidak pernah memerintah (jadi Raja) di Kerajaan Luwu. Berikut Silsilah Raja Gowa menurut sumber tersebut.

First Dynasty:

Batara Guru I
Batara Lettu
Saweri Gading……………………………….
Letta Pareppa
Simpuru Siyang
Anekaji
Punyangkuli
La Malolo


Second Dynasty :

Ratu Sapu Marantaiya………………………….
Karaeng Katangka I
Ka-Karaeng-an Bate Salapang :
1. Karaeng Garassi
2. Karaeng Katengang
3. Karaeng Parigi
4. Karaeng Siang………………………………..
5. Karaeng Sidangraye
6. Karaeng Lebangan
7. Karaeng Panaikang
8. Karaeng Madulo
9. Karaeng Jampaga
JEJAK WE TENRIABENG
Dari Buku Ritumpanna Walenrengnge, yang mengutip sumber silsilah dari Fredericy, diketahui bahwa ketika kekosongan kekuasaan Kerajaan Luwu pasca Batara Lattu, menyusul kepergian Sawerigading meninggalkan Luwu dan kemudian penolakan Lagaligo menjadi Raja Luwu, maka tampuk kekuasaanKerajaan Luwu diserahkan kepada We Tenriabeng, saudari kembar Sawerigading. Penolakan Lagaligo bin Sawerigading menjadi Datu di Luwu memperpanjang masa kekuasaan WeTenriabeng. Bahkan Letta Pareppa, anak We Tenriabeng buah perkawinannya dengan Remmang riLangi pun sempat tampil memerintah di Luwu, sebelum kekuasaan tersebut diserahkan kepada LaTenri Tatta bin Lagaligo, sebagai orang yang berhak mewarisi Kedatuan Luwu. Usai prosesi penyerahan kekuasaan kepada La Tenri Tatta bin Lagaligo, giliran pasutri We Tenriabeng dan Remmang ri Langi yang meninggalkan Tana Luwu. Ke mana rimbanya? W Allahu a’lam bisshawab. Namun tak lama setelah prosesi tersebut, lahirlah Kerajaan Siang di Pangkep. Bersamaan dengan hal tersebut, Letta Pareppa bin Remmang ri Langi justru tampil sebagai Raja ke-4 di Kerajaan Gowa menggantikan Sawerigading. Dan tradisi Datu di Kerajaan Tanete Barru yang merupakan penerus dari Kerajaan Sawwammegga yang selalu di pegang dari Kaum Ibu, menjadi indikator kuat bahwa jejak langkah We Tenriabeng sesungguhnya tercium di pesisir barat Sulawesi Selatan. Tak diragukan lagi  beliaulah yang diberi gelar Karaeng Kodingareng, pendiri Kerajaan Siang pada tahun 1112 Masehi, sebagaimana yang dituliskan AZ. Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in SouthSulawesi” halaman 458:
Tome Pires asserted that there were more than fifty rajahs in Sulawesi, which was abundant in food,and that the inhabitatants of Makassar (South Sulawesi) were the greatest pirates in the world and were much respected. M. Gordinho de Eredia, a halfcaste Portuguese, whose mother was a Bugisnoblewoman of Suppa’, gives us information that Siang is older than Gowa, and was faounded by
Godinaro (Karaeng Kodingareng?) in 1112 during the reign of Dom Alfonso, the first king of Portugal and Pope Pascal II [Pelras 1973, unpublished lecturer]. Haji Kulle, who has read the Lontara’ Siang,told us that the fisrt ruler of Siang called Karaeng Kodingareng was a daughter of a king of Luwu’,eventhough he was not able to disclose the governance of Siang, except that the queen was assisted bya council of tribal chiefs.

Usai mendirikan Kerajaan Siang dan menyerahkannya kepada anak cucunya beliau pindah ke Tenggaradan mendirikan kerajaan di sana. Tak heran jika nama Tenriabeng di Sulawesi Tenggara pun dikenalsebagai Tandiabe. Lagaligo di Sulawesi Tenggara menyebutkan hal tersebut. Wilayah kekuasaan pasutriini (Remmang ri Langi dan We Tenriabeng) sungguh sangat luas. Karena Remmang ri Langi aliasHulontalangi adalah orang yang mendirikan Kerajaan Hulontalo (Gorontalo). Daerah kekuasan pasutriini memanjang dari Gorontalo hingga ke Bima. Di Bima ada dikenal sebuah Gunung bernama GunungTamboro yang dapat diduga diambil dari nama Tamboro Langi alias Remmang ri Langi aliasHulontalangi. We Tenriabeng di Gorontalo bergelar Tilo Pudelo. Hasil wawancara dengan seorangKepala Desa di Bone Bolango Propinsi Gorontalo, tak ada makna untuk Tilo Pudelo. Yang adamaknanya adalah Pilo Pudelo, yang berarti “orang yang ditempati menitipkan sesuatu”. Boleh jadimakna dari Tilo Pudelo adalah “orang yang dititipkan”. Dan We Tenriabeng sejatinya memang pernahdititipkan ke Hulontalangi ketika Sawerigading hendak mempersunting saudara kembarnya tersebut.Buah pernikahan Pasutri Remmang ri Langi dan We Tenriabeng melahirkan Letta Pareppa kemudianmenikah dengan Simpurutoja, saudara seibu sebapak La Galigo, alias seorang putri hasil perkawinanSawerigading dan We Cudai. Dari hasil perkawinan ini melahirkan Simpurusiyang, yang kemudianmenikah dengan Pati Anjala, Putri kandung dari Lagaligo. Perkawinan Simpurusiyang dan Pati Anjalamelahirkan Anakaji, yang mempersunting putri Majapahit.

AZ. Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 463,menuliskan dengan keterangan yang agak berbeda, sebagai berikut:
According to LSW, those vassals of Luwu’ were given as a wedding present by the Second Datu Luwu’, Anakaji of the King of Mancapai’ (Majapahit?) We estimate that Anakaji ruled the end of the thirteenthcentury. According to a Lontara’ Luwu’ kept by Andi Sumange’rukka, Datu Pattojo in Soppeng, Lontara’ Cod Or 5449 and NB 208 of the university of Leiden and a genealogy of Andi’ Paramata inSengkang, his father was Simpurusiang, the first To Manurung during the Lontara’ period. Some Lontara’ depict him as the youngest son of Sawerigading.
Perbedaan data ini boleh jadi lantaran perbedaan interpretasi akan makna kata
Youngest Son of Sawerigading  Ada yang memaknai nya sebagai anak, ada yang memaknai nya sebagai cucu, atau bahkan ada yang memaknainya secara luas sebagai keturunan Sawerigading. Nah, kalau sudah dimaknai sebagai keturunan, maka hingga berapa turunan (generasi) pun pemaknaan tersebut tidak dapat dipersalahkan
SEBUAH HIKMAH
Sawerigading dan Lagaligo memang tidak pernah menjadi Datu di Luwu. Namun La Tenri Tatta, anak kandung Lagaligo, akhirnya menjadi Datu di Luwu, memenuhi keinginan leluhurnya Batara Guru danBatara Lattu serta segenap rakyat Luwu pada masa itu. Bahkan sumber data lain meyakininya menjadiPayung Luwu pertama.Datu di Luwu belum tentu seorang Payung. Tapi Payung Luwu sudah jelas seorang Datu. Ada ekstra
 
kompetensi yang harus dipenuhi seorang Datu jika ingin menjadi Payung. Mereka harus menempuhujian di “Tanah Bangkala” selama tujuh hari tujuh malam. Dan La Tenri Tatta berhasil melewati ujian tersebut hingga dilantik menjadi Payung Luwu yang pertama.
Sejatinya, apa yang terjadi antara La Tenri Tatta bin Lagaligo dengan Letta Pareppa bin Remmang riLangi hanyalah pertukaran wilayah kekuasaan. Hikmah penting yang dapat dipetik dari peristiwa ini adalah “pemenuhan amanah kepada yang berhak.” Sawerigading melalui keturunannya kembali mendapatkan haknya, sementara We Tenriabeng melalui Letta Pareppa juga memperoleh haknya melalui “TANAH YANG DIJANJIKAN” oleh Batara Lattu di Gowa (dulu Somba Opu).
Inilah pelajaran penting dari leluhur yang telah lama terabaikan saat ini, hingga negeri kita saat ini terpenuhi dengan watak koruptor. Pelajaran penting lain yang dicontohkan oleh We Tenriabeng dan Remmang ri Langi adalah kebesaran Jiwa (Karayaan/Karaengang) melepas yang bukan haknya untuk diberikan kepada yang berhak.
Masya Allah...., leluhur orang Sulawesi rupanya telah ribuan tahun mempraktekkannya, pada saat para generasinya ribuan tahun kemudian hanya pandai memperbincangkannya.
DAFTAR RAJA RAJA LUWU
(Sumber : Towarani 1407 Dikutip dari: Blog Gitalara)
--------------------------------------------------------------
  1. Batara Guru (Londong Mawale) raja pertama.
  2. Batara Lattu (Putera Batara Guru).
  3. Simpurusiang (Putera We Tenriabeng yang bersaudara kembar dengan Sawerigading, cucu dari Batara Lattu) 1300.
  4. Anakaji (Putera Simpurusiang. Inilah yang kawin dengan putra Majapahit bernama We Tappacina).
  5. Tanpa Balusu (Putera Anakaji).
  6. Tanra Balusu (Putera Tanpa Balusu).
  7. Toappanange (Putera Tanra Balusu).
  8. Batara Guru II (Putera Toappanange.)
  9. Lamariawa (Putera Tanpa Balusu).
  10. Datu Risaung Le’bi (Putera Batara Guru II).
  11. ManinggoE ri Bajo (Putera Datu Risaung Le'bi'i).
  12. Tosangkawana (Kemanakan ManinggoE ri Bajo).
  13. Datu Maoge (Kemanakan Tosangkawana).
  14. We Tenriawe (Sepupu sekali Datu Maoge).
  15. Patiarase' 1580-1615 (Putera We Tenriawe, Raja Luwu pertama yang masuk Islam).
  16. Pati Passaung Sultan Abdullah MatinroE ri Patimang Putera Patiarase'. Kawin dengan KaraengBalla Bugisi dari Gowa 1615 – 1637.
  17. Petta MatinroE ri Gowa (Putera Pati Passaung).
  18. Settiaraja (MatinroE ri Tompo' tika' (Putera Petta Mattiroe ri Gowa.
  19. MatinroE ri Pilka (Sepupu sekali Settiaraja).
  20. Settiaraja (Kedua kali jadi raja).
  21. To Palaguna MatinroE ri Langkanana Putera Settiaraja. Raja inilah yang kawin dengan WePatteketana Daeng Tanisanga (Datu Tanete XIII).
  22. Batari Tungke Sultanat Fatimah MattinroE ri Patturu putri To Palaguna).
  23. Batari Toja Sultanat Sitti Sainab MatinroE ri Timpuluna sepupu sekali Batari Tungke, ia juga menjadi Mangkau di Bone dan Dati di Soppeng, Istri La Patau Matanna Tikka, Raja Bone).
  24. We Tenrileleang (Puteri Batari Tungke').
  25. La Kaseng MatinroE ri Kaluku BodoE (Sepupu We Tenrileleang).
  26. We Tenrileleang kedua kalinya menjadi Datu Luwu).
  27. La Tenripeppang (Putera La Kaseng).
  28. We Tenriawaru Puteri Latenri Peppang. Kawin dengan Mappoleonro, Datu Soppeng ke 28. (1765-1820).
  29. Laoddampero (Putera We Tenriawaru).
  30. Patipatau Toappanyompa (Putera Laoddarnpero), MatinroE ri Tomalullu (Putera We Tenriawaru).
  31. Iskandar Opu Daeng Pali (Kemanakan MatinroE ri Tomalullu).
  32. Andi Kambo Opu Daeng Risompa MatinroE ri Bintara (Putera Patipatau To Appa-nyompa).
  33. Andi Djemma (Putera Andi Kambo).
  34. Andi Jelling (Paman Andi Djemma).
  35. Andi Djemma (Untuk kedua kalinya, setelah Republik Indonesia).
MENELUSURI PERIODESASI KEDATUAN LUWU
Masih banyak yang menjadi misteri akan susunan di atas. Periode Raja-raja atau Datu tersebut masih jarang dicantumkan. Nama Dewaraja pun tidak tercantum dalam daftar. Demikian juga Putra penggantinya yang bernama Sanggaria, pun tidak tercantum. Padahal nama kedua Raja ini dikenaldalam berbagai Lontara Sulawesi Selatan hingga di Kerajaan-kerajaan Melayu. Jawaban atas misteri inidapat diduga, bahwa baik Dewaraja maupun Sanggaria adalah nama asli kedua Raja tersebut. KeduaRaja Luwu ini tetap tercantum dalam daftar dari sumber di atas dalam bentuk gelar mereka masing-masing. Lalu manakah gelar dari kedua Raja ini? Mari kita telusuri bersama.
PERIODESASI KERAJAAN SIANG
Dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 458, AZ. Abidin menuliskan:
Tome Pires asserted that there were more than fifty rajahs in Sulawesi, which was abundant in food and that the inhabitatants of Makassar (South Sulawesi) were the greatest pirates in the world and were much respected. M. Gordinho de Eredia, a halfcaste Portuguese, whose mother was a Bugisnoblewoman of Suppa’, gives us information that Siang is older than Gowa, and was faounded byGodinaro (Karaeng Kodingareng?) in 1112 during the reign of Dom Alfonso, the first king of Portugal and Pope Pascal II [Pelras 1973, unpublished lecturer]. Haji Kulle, who has read the Lontara’ Siang,told us that the fisrt ruler of Siang called Karaeng Kodingareng was a daughter of a king of Luwu’,eventhough he was not able to disclose the governance of Siang, except that the queen was assisted bya council of tribal chiefs.
AZ. Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 463,menuliskan dengan keterangan yang agak berbeda, sebagai berikut:
According to LSW, those vassals of Luwu’ were given as a wedding present by the Second Datu Luwu’, Anakaji of the King of Mancapai’ (Majapahit?) We estimate that Anakaji ruled the end of the thirteenthcentury. According to a Lontara’ Luwu’ kept by Andi Sumange’rukka, Datu Pattojo in Soppeng, Lontara’ Cod Or 5449 and NB 208 of the university of Leiden and a genealogy of Andi’ Paramata inSengkang, his father was Simpurusiang, the first To Manurung during the Lontara’ period. Some Lontara’ depict him as the youngest son of Sawerigading.
Sumber di atas cukup membantu menyebutkan berdirinya Kerajaan Siang pada tahun 1112 Masehiserta periode Anakaji, Datu kedua Luwu periode Lontara’ yang ditaksir berada pada akhir abad ke-13,atau akhir tahun 1200-an yang sangat dibutuhkan menelusuri periode Datu-datu Luwu. Hal ini relevandengan periode yang dicantumkan Daftar Raja Gowa yang dikeluarkan oleh Inggris di atas, yangmencantumkan periode Simpurusiyang pada tahun 1200 Masehi, yang juga telah memberi data periodesasi Sawerigading pada 1000 Masehi, yang relevan dengan periode We Tenriabeng pada saat yang sama.DEWA RAJA DATU KELALI’Untuk menelusuri siapakah Dewaraja maupun Sanggaria, petunjuk terdekat yang dapat di pedoman iadalah PATIARASE yang berperiode 1580 – 1615. Petunjuk lain adalah periodesasi Dewaraja sendiri.Masalah yang ditemui pada periodesasi Dewaraja adalah setidaknya ada 2 sumber berbeda yang menuliskan periodesasi beliau. AZ Abidin dalam The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi halaman 463 menuliskan:
Since Lontara’s Luwu do not mention the dates and the lengths of the king’s reigns, we have to consult  Lontara’s of Wajo’ and Bone, and the diaries of Gowa and Tallo’ (Lontara Bilang of Gowa). For example, LSW provides us with data concerning the eleventh king of Luwu’, To Sangereng, titled  Dewaraja Datu Kelali’ (li. The King with a cockscomb), while living in (a place in Bone), he made atreaty with the second Arung Matoa Wajo’, La O’bi’ Settiriware’. By using Noorduyn’s method (1965:145-146) (i.e. counting backward chronologycally starting from time when Islam was adopted in Wajo’ in 1609), we are able to determine the reigns of Settiware’ and the first Arung Matoa. Thus, the reign of Settiware’ is assigned to about 1482 to 1487. To Sangereng Dewaraja concluded a second treaty of  friendship with the fourth Arung Matoa Wajo’ La Tadampare’ Puang ri Ma’galatung (1491-1521) toattack Sidenreng. This treaty is called Singkeru’ Patolae ri Topaccedo’, the treaty of Topaccedo’. After Sidenreng was defeated by Luwu’ and Wajo’, the Datu Luwu’ attacked Bone, but was defeated and had to conclude a treaty with La Tenrisukki’, the fifith king of Bone. During the last phase of the reign of  Arung Matoa Wajo’ La Tadampare’, Wage, Tampangeng Singkang (Modern Sengkang) and Tempe and all vassals of Luwu’ were annexed by Wajo’.
SUMBER LAIN DARI MELAYU:
Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk dituntut olehSanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas tindakan Wajo' yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo' terpaksa menukar ikrar setia dari Luwuk kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwuk tanpa kuasa.
Dari kedua sumber di atas, data tentang periodesasi Sanggaria yang berada pada tahun 1535 makinmendekatkan kita pada periode Patiarase yang dimulai tahun 1580. Bantuan yang cukup berarti diperoleh dari tulisan ANDI ODDANG yang berjudul
KERAJAAN BELAWA, NEGERI DI BATAS  PERSIMPANGAN SEJARAH.
Berikut kutipannya:
Sebagaimana tersebut pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), bahwa pada penghujung abad XV terjadi peristiwa  Rumpa'na Sidenreng , yakni perang berkepanjangan antara Kerajaan Luwu dan KerajaanSidenreng yang melibatkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Kemurkaan Pajung Luwu XVI yang bernama  La Dewaraja To Sengereng Daeng Kelalik Petta MatinroE ri Bajo  pada La Pateddungi Addaowang Addatuang Sidenreng IV mencetuskan peperangan diantara kedua negeri besar yang berpengaruh itu. Sementara itu, Sidenreng sebagai pihak "bertahan" mendapat dukungan dari 4kerajaan tetangganya, yaitu : Belawa, Rappeng, Bulu Cenrana dan Otting sehingga mampu bertahandari gempuran pasukan Luwu yang sebenarnya lebih besar. Hal inilah yang memaksa Pajung Luwusendiri melakukan muhibah ke Wajo untuk meminta bantuan Arung Matoa Wajo yang kala itu sedangdijabat oleh La Tadampare' Puang ri Maggalatung . Ketika perjalanan rombongan baginda tiba diTopaceddo', dikirimlah utusan kepada Arung Matoa sambil membawa hadiah (oleh-oleh ?) berupa : 3orang Ata (budak), 3 pasang sampu (sarung sutera) dan 3 pasang gelang emas sebagai pembuka kata penyampaian permohonan kiranya Arung Matoa berkenan ke Topaceddo' untuk menemui PajungngE.
Kata kunci yang sangat membantu kita menemukan siapa Dewaraja dalam Daftar susunan Raja Luwu melalui tulisan Andi Oddang di atas adalah PETTA MATINROE ri BAJO, yang relevan dengan kata MANINGGO E ri BAJO dalam daftar susunan di atas. Angka 1530 pada Dewaraja adalah tahun tutup usianya. Adapun tahun kelahiran beliau belum diketahui, namun dapat ditaksir dengan melihat periode the second Arung Matoa Wajo’, La O’bi’ Settiriware’. 1482 to 1487 atau La Taddampare’ Puang riMa’galatung dari Wajo tahun 1491 – 1521 Masehi, dalam catatan AZ Abidin di atas.


Dengan Memadukan Berbagai Sumber Data Berbeda Tentang Daftar Raja-Raja Luwu ( Datu )
Raja Luwu ( Datu )
Penjelasan
1. SITI MALANGKE
2. DATU PALINGI’I
3. PATUTUI’
4. BETARA GURU
5. BETARA LATTO’
6. WE TENRIABENG
1000 Masehi
7. LA TENRI TATA
1100 Masehi
8. LETTA PAREPPA
1110 Masehi
9. SIMPURUSIANG
1200 Masehi
10. ANAKAJI
Akhir 1200 Masehi
11. Tanpa Balusu (Putera Anakaji).
Awal 1300 Masehi
12. Tanra Balusu (Putera Tanpa Balusu)
13. To Appanange (Putera Tanra Balusu)
14. Batara Guru II (Putera Toappanange)
15. Lamariawa (Putera Tanpa Balusu)
16. Datu Risaung Le’bi (Putera Batara Guru II)
17. Dewaraja/Datu Kelali’ ManinggoE ri Bajo
1400 – 1530 Masehi
18. Tosangkawana (Kemanakan ManinggoE ri Bajo)
1530 – 1535 Masehi
19. Sanggaria/Datu Maoge (Kemanakan Tosangkawana)
1535 – 1550 Masehi
20. We Tenriawe (Sepupu sekali Datu Maoge)
1550 – 1580 Masehi
21. Patiarase'
1580 - 1615 Masehi
22. Pati Passaung Putera Patiarase'
1615 – 1637 Masehi
23. Petta MatinroE ri Gowa (Putera Pati Passaung)
1637 - …… Masehi
24. Settiaraja
25. MatinroE ri Pilka (Sepupu sekali Settiaraja)
26. Settiaraja (Kedua kali jadi raja)
27. To Palaguna MatinroE ri Langkanana
28. Batari Tungke
29. Batari Toja
30. We Tenrileleang (Puteri Batari Tungke')
31. La Kaseng MatinroE ri Kaluku BodoE ( Sepupu We  Tenrileleang )
32.We Tenrileleang  (kedua kalinya menjadi Datu Luwu)
33. La Tenripeppang (Putera La Kaseng)
– 1765 Masehi
34. We Tenriawaru Puteri Latenri Peppang
1765 - 1820 Masehi
35. La Oddampero (Putera We Tenriawaru)
1820 - ….. Masehi
36. Patipatau ToAppanyompa (Putera La Oddarnpero)
37. MatinroE ri Tomalullu (Putera We Tenriawaru)
38. Iskandar Opu Daeng Pali (Kemanakan MatinroE ri Tomalullu)
39. Andi Kambo Opu Daeng Risompa (Putera Patipatau Toappanyompa).
40. Andi Djemma (Putera Andi Kambo)
41. Andi Jelling (Paman Andi Djemma)
42. Andi Djemma (Untuk kedua kalinya, setelah Republik Indonesia)

Masih banyak dari susunan Datu dari daftar di atas yang bersifat misteri karena belum teridentifikasi periodenya. Dan dari 42 orang Datu yang tertulis dalam daftar ini, minimal ada 3 Raja yang dituliskan sebanyak dua kali dalam daftar karena dua kali tampil menjadi Raja Luwu, yakni; SETTIARAJA, WE TENRI LELEANG dan ANDI DJEMMA. Jadi sesungguhnya, jumlah Raja atau Datu yang pernah memerintah di Kedatuan Luwu hanya ada 39 orang.

LUWU DAN GADJAH MADA

Yang sangat menantang untuk ditelusuri adalah periode antara Tanpa Balusu (Putera Anakaji) yang berada pada awal 1300 Masehi hingga sebelum Dewaraja/Datu Kelali’ pada akhir 1400 – 1530 Masehi. Sangat menantang, karena dalam periode inilah bersinggungan dengan periode Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah PALAPA (sebagaian lagi orang Jawa menyebutnya Sumpah PALOPO). Periode Gadjah Mada adalah 1299-1364 Masehi. Mungkin benar Gadjah Mada tidak terlahir di Luwu atau di Sulawesi, tapi beberapa pihak justru meyakininya sebagai orang Sulawesi, sama seperti keyakinan beberapa sejarawan Lokal dan nasional bahwa kata PALAPA atau PALOPO ini erat kaitannya dengan SUMPAH PALAPA (PALOPO) yang diucapkan GADJAH MADA.
Hipotesa yang penulis kembangkan adalah Gadjah Mada yang gagal mempersunting DYAH PITALOKA karena sang putri bunuh diri, akhirnya berlabuh ke Palopo dan menanggalkan SUMPAH PALAPA di PALOPO? Boleh jadi salah satu dari nama-nama berikut ini, yakni; Tanra Balusu (PuteraTanpa Balusu), To Appanange (Putera Tanra Balusu), Batara Guru II (Putera Toappanange), Lamariawa(Putera Tanpa Balusu), Datu Risaung Le’bi (Putera Batara Guru II), yang belum teridentifikasi periodenya adalah nama lain atau gelar Sang Gadjah Mada di Kerajaan Luwu? Who was to know?

Tak ada ada salahnya berhipotesa, apalagi jika hipotesa tersebut sangat didukung oleh beberapa keterangan-keterangan yang menguatkan hipotesa tersebut ke arah fakta. Sejarah bukanlah Agama yang harus diyakini 100 persen. Karena “TAK ADA KEBENARAN TUNGGAL DALAM SEJARAH”.

Referensi : Dirangkum dari berbagai sumber 

Epos Lagaligo
La galigo sebagai salah satu karya sastra yang mempunyai stuktur cerita yang besar, yang juga memuat beberapa sub-sub cerita yang terkandung didalamnya. Setiap sub cerita yang selanjutnya disebut episode, dapat dilihat dalam dua dimensi. Di satu sisi ia merupakan bagian cerita dari keseluruhan konstruksi la galigo, namun disatu sisi lain ia juga mempunyai cerita tersendiri dalam bingkai La Galigo. Jadi La Galigo mempunyai satu alur yang besar, yang didalamnya terdiri atas kumpulan beberapa episode, yang setiap episode juga mempunyai alur tersendiri, yang merupakan sub alur dari la galigo secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan antara lain karena panjangnya cerita yang melingkupi setiap tokoh, sehingga kadang-kadang tidak tertampung hanya dalam satu episode. Kadang – kadang satu cerita terdapat pada dua atau tiga episode, hal itu tergantung banyaknya peristiwa yang diceritakan
Alur Cerita Dari Epos La Galigo Dari Tanah Bugis
Alur Cerita pada Bagan Diatas :
Pada episode sebelumnya, yakni episode ritumpanna welenrengnge (Penebangan pohon welenrenge) diceritakan bahwa Sawerigading putra mahkota dari raja luwuq ketika lahir, dalam keadaan kembar emas yakni kembar laki-laki dan perempuan. Karena dikhawatirkan akan saling jatuh cinta pada saat dewasa mereka berdua pun dipisahkan pada saat kecil dan tidak diperkenankan untuk bertemu.
Malang tak dapat ditolak, semua kekhawatiran yang selama ini ditakutkan tiba-tiba menjadi kenyataan dalam sebuah pesta besar di istina luwuq. Tanpa sengaja sawerigading melihat adik kembarnya We Tenriabeng. Saat itulah perasaan dan pikiran Sawerigading tidak pernah tentram lagi siang dan malam yang terbayang hanyalah adik kembarnya we tenriabeng.
Akhirnya perasaan itu ditumpahkannya dengan memberitahukannya dengan batara luwuq (Raja Luwuq). Dalam waktu sekejap batara Luwuq mengadakan rapat dewan adat untuk membicarakan masalah ini. Dan kesimpulannya peristiwa tersebut dianggap suatu pelanggaran adat yang sangat memalukan. Sebagai hukuman atas kelakuan sa werigading tersebut adalah pembuangan. Dan atas anjuran kembarnya we tenriabeng maka negeri yang dituju dalam pembuangan itu adalah negeri Cina. Karena di negeri cina terdapat putrid raja yang bernama I we cudai yang kecantikan dan kelembutannya tidak jauh beda dengan dirinya (we tenriabeng).
Dari sini lah bermula awal cerita inti dari la galigo yakni saat pelepasan sawerigading menuju negeri cina sampai tibanya dinegeri cina. Sementara itu seletah sawerigading pergi berlayar ke negeri cina, We Tenriabeng pun gaib ke botting langiq dan disana persta perkawinan We Tenriabeng menikah dengan Remmang Ri Langiq yang berlangsung dengan meriah dan tanpa di hadiri kedua orang tua We Tenriabeng.
Episode setelah Sawerigading tiba di cina, Menggambarkan Bagaimana Sawerigading Menyamar menjadi Ono (Hamba) Dan menyamar menjadi Penjual-Jual. Menyamaran tersebut dimaksudkan hanya untuk melihat Wajah We Cudai. Setelah melihat wajah We Cudai Sawerigading pun melamarnya. Tapi saying sekali lamaran Sawerigading ditolok oleh raja cina. Maka peperangan pun tak bias dielakkan. Setelah Sawerigading mengalahkan pasukan raja cina. Barulah perkawinan dilangsungkan antara Sawerigading dan We Cudai. Dari Perkawinan Sawerigading dan We Cudai ini Lahirlah Putera Sawerigading yang Bernama I La Galigo, yang selanjutnya menjadi sangat terkenal dan menjadi Judul dari Epik Besar La Galigo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar