HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WAD’I
1. Pengertian Hukum Taklifi dan
Hukum Wad’i, Kedudukannya dan Fungsinya.
a. Pengertian
Hukum taklifi menurut pengertian
kebahasaan adalah hukum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah ialah
ketentuan Allah SWT yang menuntut mukalaf (balig dan berakal sehat) untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau berbentuk pilihan untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Tuntutan Allah SWT untuk melakukan
sesuatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah,
2: 110 yang artinya : “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tuntutan
Allah SWT dalam firman-Nya tersebut melahirkan kewajiban untuk mengerjakan
salat bagi setiap mukalaf dan kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap orang
yang telah memenuhi syarat wajibnya.
Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan
suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra’, 17:
33 yang artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alas an yang benar.” Tuntutan dalam
ayat tersebut bersifat pasti, yakni dilarang membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah SWT. Jika larangan itu dilanggar, maka pelakunya dianggap
berdosa dan pasti akan mendapat hukuman.
Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan
untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an Surah Al-Jumu’ah, 62: 10 yang artinya : “Apabila telah
ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
Allah.”
Pengertian hukum wad’i ialah ketentuan
Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab,
syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum.
b. Kedudukan dan
Fungsi
Kedudukan dan fungsi hukum taklifi
menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum taklifi membahas
sumber hukum Islam yang utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis dari segi perintah
–perintah Allah SWT dan rasul-Nya yang wajib dikerjakan, larangan-larangan
Allah SWT dan rasul-Nya yang harus ditinggalkan serta berbentuk pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Macam-macam hukum taklifi dan bentuknya
itu sebagai berikut:
1. Al-Ijab, yaitu
tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan, tidak boleh (dilarang)
ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Bentuk hukuman
dari Al-Ijab ialah wajib (fardu), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan,
pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya dianggap
berdosa dan akan mendapat hukuman. Perbuatan fardu ditinjau dari segi orang
yang melakukannya, dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
·
Fardu ‘ain yaitu perbuatan yang harus
dikerjakan oleh setiap mukalaf.
·
Fardu kifayah yaitu perbuatan yang
harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat. Jika perbuatan tersebut
telah dikerjakan oleh minimal seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota
masyarakatnya tidak dikenai kewajiban. Tetapi apabila tidak dikerjakan oleh
seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap
berdosa.
2. An-Nadb, yaitu
tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, yang apabila
dikerjakan pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak
mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi 2, yaitu:
·
Sunnah ‘ain yaitu perbuatan yang
dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu.
·
Sunnah kifayah yaitu perbuatan yang
dianjurkan untuk dikerjakan oleh seorang atau beberapa orang dari golongan
masyarakat.
3. Al-Karahah, ialah
sesuatu yang dituntut syari’a kepada mukalaf untuk meninggalkannya dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti. Bentuk hukum dari Al-Karahah disebut makruh. Orang
yang mengerjakan perbuatan makruh dianggap tidak berdosa dan yang
meninggalkannya mendapat pujian dan pahala.
4. At-Tahrim, yaitu
tuntutan syari’a untuk tidak mengejakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
pasti. Bentuk hukum dari At-Tahrim ialah haram, yaitu perbuatan yang apabila
dikerjakan dianggap berdosa, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya akan
mendapat pahala.
5. Al-Ibahah, yaitu
firman Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Bentuk hukum dari Al-Ibahah ialah mubah, yaitu perbuatan yang
boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Dikerjakan atau ditinggalkan,
pelakunya tidak akan mendapat pahala, dan tidak pula dianggap berdosa.
Bentuk hukum wad’i adalah merupakan
ketentuan-ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang sebab, syarat, mani
(penghalang), batal (fasid), azimah, dan rukhsah dalam hukum Islam.
2. Penerapan Hukum Taklifi dan Hukum
Wad’i dalam kehidupan Sehari-hari.
Setiap
Muslim/Muslimah hendaknya menerapkan hukum taklifi dan hukum wad’i dalam
kehidupan sehari-hari.
Seorang
Muslim/Muslimah yang menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari tentu
selama hidup di ala mini akan senantias melaksanakan perintah Allah SWT yang
hukumnya wajib, meninggalkan segala larangan Allah SWT yang hukumnya haram, dan
lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran Allah SWT dan rasul-Nya yang hukumnya
sunnah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya yang hukumnya makruh. Sedangkan
hal-hal yang hukumnya mubah seorang Muslim/Muslimah boleh mengerjakannya dan
boleh tidak, karena baginya tidak ada pahala dan tidak ada dosa.
Seorang
Muslim/Muslimah yang menerapkan hukum wad’i, tentu akan senantias menghambatkan
diri (beribadah) kepada Allah SWT dengan dilandasi niat ikhlas karena Allah SWT
dan sesuai dengan ketentuan syara’, yakni terpenuhi syarat-syaratnya sahnya,
rukun-rukunnya, dan terpelihara dari hal-hal yang membatalkannya.
Beruntunglah
Muslim/Muslimah yang selama hidup di alam dunia ini senantiasa menerapkan hukum
taklifi dan hukum wad’i dalam kehidpuan sehari-hari sehingga ia menjadi seorang
yang bertakwa kepada Allah SWT. Sedangkan seorang Muslim/Muslimah yang
betul-betul bertakwa, tentu akan memperoleh rida dan rahmat Allah SWT, serta
kebaikan-kebaikan yang banyak, baik di alam dunia yang fana ini maupun di alam
akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar