Tomanurung ri Tamalate
TOMANURUNG di dalam lontara, tidak disebutkan To
Manurung ri Tamalate sebagai seseorang yang “turun dari langit”. Disebut
sebagai To Manurung oleh karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, dan
siapa ayah dan ibunya. Dalam bahasa lontara dinyatakan : “nanikanamo to
manurung ka taena niassengngi kabattuanna”, maka disebutlah To Manurung karena
tidak diketahui dari mana asal kedatangannya. Ketika wilayah-wilayah yang
dipimpin para Gallarang di Gowa terus menerus berselisih, bahkan berperang satu
dengan yang lain, dan ketika tiada aturan hokum yang ditaati oleh para
Gallarang dan rakyatnya, dan ketika berlaku hukum rimba’ yang kuat menelan yang
lemah maka To Manurung ditemukan pada suatu bukit di Tamalate. Ia ditemukan
setelah terjadinya peristiwa alam yang dahsyat. Dalam lontara diceritakan bahwa
orang-orang melihat ada cahaya terang bersinar dari suatu bukit. Ketika para
Gallarang bersama Paccallaya disertai penduduk mendekati bukit tersebut,
ternyata di bukit itu dilihat seorang putrid, dari mana cahaya itu bersumber.
Paccallaya dengan sigap berseru : “Sombai karaennu tu Gowa”, “sembahlah rajamu,
wahai orang Gowa”. Putri itulah yang disebut To Manurung yang dirajakan di
Gowa. Meskipun dalam lontara tidak disebutkan bahwa To Manurung berasal dari
langit. Riwayat To Manurung itupun menjadi suatu mitos, menjadi salah satu
unsure dalam system kepercayaan orang Gowa, yang sekaligus menjadi unsur
penting dalam pemberian legitimasi politik kekuasaan dan kewenangan To Manurung
dan turunannya untuk menjadi penguasa yang disembah (somboya) di Gowa. Atas
dasar kepercayaan sebagai turunan langit itu pulalah terbangun suatu system pelapisan
social itu. Sperti dikemukaan Mattulada, kedatangan To Manurung dihajatkan guna
mengakhiri konflik berkepanjangan, suata rekayasa dan mitos politik
penyelesaian konflik sekaligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan
kekuasaan yang diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik (Mattulada,
1998-an). Penyebaran Kisah To Manurung secara lisan sebagai turunan langit,
pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sacral yang disebut Kalompong
(tanda kebesaran), penentuan berbagai property simbolik bagi lapisan Raja,
Karaeng dan turunan Raja, Anak Kareang serta penyelenggaraan berbagai ritus
yang disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun
kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada To Manurung dan turunannya. Akan tetapi
yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos
itu. Sesungguhnya substansi utama mitos To Manurung terletak pada kontrak
politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih
800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa
kontak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque
abad ke-18 yang berbicara tentang kontrak social. Ciptaan yang luar bias dan
cerdik yang berupa mitos To Manurung tersebut memungkinkan substansi utama yang
hendak dikemukakan lebih dapat berterima oleh rakyat dan warga Kerajaan Gowa.
Metode penyampaian yang digunakan dan pemikiran yang terkandung dalam kontrak
politik itu tetap merupakan suatu penanda tingkat kemampuan berpikir dan
kecerdasan orang Gowa masa itu. Sesuatu peninggalan budaya yang membanggakan.
To Manurung ri Tana Luwu
Sebagian orang kadang mengungkapkan bahwa, To
Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan ditakdirkan untuk
memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang mengungkapkan bahwa To
Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya merupakan mitos belaka, akan
tetapi penulis lontara dan para pentutur di zaman Luwu purba di Wotu ketika itu
masih terletak disekitar Ussu dan Bilassa Lamoa (Kebun Dewata) mengungkapkan
bahwa Raja Pertama disebut To Manurung, hal ini disebabkan oleh karena tidak
diketahui darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya
oleh masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau Wija Palamoa
(berbeda dengan tradisi-tradisi Jawa) tetapi diakui sebagai orang yang dating
dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung (orang Asing) kadang
diangkat sebagai Raja (belum tentu Raja Pertama) oleh karena beberapa alasan
antara lain :
a.
Mungkin sebagai
daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar
b.
Karena kehebatan
dari pribadi Sang Pendatang
c.
Karena alasan
politik untuk mempersatukan wilayah.
Dapat disimpulkan bahwa nama To Manurung adalah
sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatnya pada
seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai
turunan dari kayangan. Pada umumnya orang Sulawesi utamanya orang Luwu
mempunyai silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun
temurun. Biasaya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga,
umpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling
dicocokkan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah.
Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Di samping itu
silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut Sinliri atau
Tolo. Kedua-duanya adalah cerita kepahlawanan dan peperangan yang pernah
terjadi. Sinliri dan Tolo adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur
tangan tokoh-tokoh kayangan.
Tempat To Manurung ri
Tana Luwu
Dari cerita tentang To Manurung, bagi
masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara telah banyak ditulis, baik
penulis-penulis sejarah dalam Negeri maupun luar Negeri utamanya Belanda, dan
terakhir sastrawan Negeri Jiran, Arenawati yaitu “Silsilah Kerajaan Bugis dan
Melayu” dimana disebutkan, Raja-Raja Nusantara dan Semenanjung berasal dari
Luwu, Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La Maddusala (ejaan Melayu La
Maddusalat) antara lain hamper seluruh Kerajaan di Semenanjung Malaysia dan
Nusantara. Sebagaimana umumnya orang mengetahui bahwa Kedatuan Luwu atau
Kerajaan Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, system
pemerintahan, asal usul darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To
Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai.
Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh
orang Wotu tempat asal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Louwo yang berasal dari
kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas wilayah
Luwu purba memang sangat luas, terdampar hamper seluruh daratan Sulawesi. Suatu
hal yang sulit terbantahkan dan hamper telah menjadi kesepakatan bahwa To
Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia
dianggap membawa rahmat bagi keselamatan kemakmuran dean kesejahteraan. Hanya
kadang sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para
etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau
clennya yang pewaris Luwu atau Wija Sawerigading sementara yang lain adalah
tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu dan kelompok lain
tidak utamanya tentang adat istiadat, padahal bila kita mau mengkajinya secara
objektif mereka semua keturunan atau Wija Asselinna Luwu, tidak ada yang dapat
mengklaim kelompoknya yang Wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah
fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware
(Pusat Pemerintahan Kerajaan Luwu berpusat) dalam catatan sejarah dapat
memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware Kelima.
1. Ware Pertama. Dimulai pada akhir abad
ke IX dan memasuki abad ke X M sampai pada abad ke XIII, dikenal sebagai fase
Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya. Pusat Kerajaan (Ware)
masih disekitar Wotu lama sampai runtuhnya Kerajaan Luwu Pertama, Wotu lama
sebagian pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu
menyebutnya Cerrea (orang Bugis menyebutnya Cerekang) dan sebagian menetap
disekitar lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII
barulah ada yaitu pada saat datangnya orang Bugis di Luwu. Sebagian penduduk
masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.
2. Ware Kedua. Dimulai pada abad ke XIV M
Ware (Pusat Pemerintahan) berada di Mancapai, dekat Lelewaru di selatan Danau
Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.
3. Ware Ketiga. Dimulai sekitar abad ke
XV M. Ware (Pusat Kerajaan) berada di Kamanre, di tepi sungai Noling sekitar 50
km selatan Kota Palopo. Rajanya dikenal sebagai Dewaraja.
4. Ware Keempat. Dimulai pada abad ke XVI
M pusat Kedatuan Luwu (Ware) dipindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke dan
disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya Agama Islam di Tanah Luwu.
5. Ware Kelima. Dimulai ketika memasuki
abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai
dengan sekarang. Jika kita menyimak catatan perjalanan Ware diatas, maka tidak
ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim dirinya sebagai penduduk asli Luwu
dan berhak menyebut “Alenami Tomatase’na Luwu” karena semua suku bangsa
berdasarkan adat Luwu adalah penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi
siapapun yang menjadi Datu ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona, To Padoe (Mori)
dan Tolaki tidak bias dipungkiri sebagai penduduk Luwu purba abad X, tidak bias
juga mengklain bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka
adalah pewaris Macoa. Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim
bahwa hanya merekalah penduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat
pada masa Ware terakhir sampai sekarang, di sisi lain tidak dapat pula
dikesampingkan peran pada masa Ware Kedua, Ketigan dan, Keempat, semua memiliki
peran yang sama, hanya waktulah yang membedakannya, semua Keturunan To
Manurung.
Cerita
Lain Tentang To Manurung
To Manurung
(manusia yang berasal dari langit) dalam riwayat kuno dipercaya sebagai asul-usul
Raja-Raja di Sulawesi Selatan. Dalam sejarahnya, konon ada 3 kali “pendaratan”
To Manurung di jazirah Sulawesi. To Manurung pertama adalah seorang lelaki
perkasa bernama Tomboro Langi yang mendarat di puncak Gunung Latimojong. Ia
memproklamirkan dirinya sebagai utusan langit untuk memerintah umat manusia.
Tombora Langi lalu menikah denagn Tande Bilik, seorang dewi yang muncul dari
busa air Sungai Sa’dang. Putra Sulung mereka Sandaboro memperanakkan La
Kipadada yang membangun 3 Kerajaan besar, yaitu : Rangkong (Toraja), Luwu, dan
Gowa. Setelah itu dunia dilanda kekacauan, maka diturunkanlah To Manurung
Kedua. To Manurung Kedua yaitu Batara Guru yang kemudian kawin dengan We
Nyilitimo dan melahirkan Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng,
putrid dari Masyrik yang melahirkan Sawerigading. Sawerigading mendirikan
Kerajaan Luwu yang dibawahnya terdiri dari Kerajaan merdeka dan berdaulat
seperti Kerajaan Toraja, Bone, Gowa, Tertane, dan Palu. Fase Sawerigading
mengalami kemunduran, sampai tak ada Raja lagi yang memerintah di bumi maka
diturunkanlah Generasi To Manurung Ketiga. To Manurung Ketiga terdiri dari
beberapa orang dan mendarat di beberapa tempat. To Manurung di Luwu yaitu
Sempurusiang yang kawin dengan Pattiajala. To Manurung di Bone bernama Mata
Silompoe kawin dengan To Manurung perempuan dari Toro. To Manurung di Gowa
kawin dengan Karaeng Bayo. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung
di Lawaramparang. Anak cucu turunan To Manurung itulah yang kemudian secara
turun temurun menjadi Raja yang memerintah di masing-masing Kerajaan yang ada
di jazirah Sulawesi.
Sifat yang di Miliki To Manurung
1.
To Manurung tidak dikubuar apabila ia meninggal,
sebab tubuhnya menghilang, tinggal pakaian dan kerisnya.
2.
To Manurung dapat tiba-tiba berada di samping kita
tanpa kita rasakan.
3.
To Manurung mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang
mendalam atau menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
4.
To Manurung memiliki jiwa seorang pemimpin dan
sangat bijaksana, dapat menolong masyarakat yang membimbingnya.
5.
To Manurung luas pengetahuannya, saleh, berbakti,
dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Karena
To Manurung memiliki sifat-sifat seperti di atas maka masyarakat Sulawesi
Selatan merupakan Keturunan To Manurung Wija Tau Deceng (Keturunan Orang Baik)
dan untuk mengetahui mereka, di depan nama mereka disebut panggilan Puang,
Datu, Karaeng, Maradia, Andi dan lain-lain oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
To Manurung
To Manurung secara bahasa berate “orang yang turun
atau menitis (dari langit)”. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan, To Manurung
diyakini sebagai manusia keturunan dewa yang berasal dari Botinglangi
(Kahyangan) yang menitis ke bumi. Asal usulnya silsilahnya tentu saja tidak
ada, karena dia hanya tiba-tiba menjelma dan hadir di tengah-tengah masyarakat.
To Manurung juga mempunyai kemampuan
atau kesaktian yang di atas kemampuan rata-rata manusia. Dan memiliki
kebijaksanaan yang tinggi.
Kedatangan To Manurung biasanya
diawali dengan terjadinya zaman kekacauan atau zaman kegelapan, yaitu zaman
dimana biasanya terjadi perang saudara yang berkepanjangan, keadaan masyarakat
yang kacau dan berlakunya hokum rimba dimana yang kuat cenderung menindas yang
lemah. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun yang dalam Kitab Lontara
di istilahkan zaman “Sianre Bale” yang artinya zaman dimana manusia itu laksana
ikan di laut yang saling makan memakan.
Di Sulaweis Selatan zaman “Sianre
bale” itu berlangsung sekitar pertengahan abad XV. Yaitu dimulai sejak
menghilangnya keturunan terakhir Sawerigading yang bernama La Tenritatta Pajung
MasagalaE. Sawerigading sendiri adalah seorang To Manurung juga.
Zaman “Sianre Bale” ini berlangsung
selama 7 generasi dan berakhir dengan datangnya To Manurung de berbagai tempat.
To Manurung inilah yang kemudian menata kehidupan masyarakat di daerah-daerah
tempat kedatangannya.
To Manurung di Berbagai Daerah
Di Kerajaan Luwu, turun To Manurung yang bernama
Simpurusiang yang dating melalui seruas bamboo, Simpurusiang selanjutnya
diangkat menjadi Raja di Kerajaan Luwu dengan bergelar Pajung (Yang Berpayung).
Di Kerajaan Bone turun To Manurung di daerah
Matajang bergelar Mata SilompoE’ yang kemudian kawin dengan To Manurung ro
Tonro bernama We Tenri Awaru, selanjutnya To Manurung ri Matajang ini diangkat
sebagai Raja Bone Pertama dengan gelar Pett Mangkau (Yang Bertahta).
Di Kerajaan Gowa di sebuah daerah yang bernama
Taka’bassia, turun seorang To Manurung Baine (Wanita) yang kemudian menikah
dengan Kareng Bayo cucu Puang Tamboro’ Langi To Manurung ri Kandora Tana
Toraja. Puteri To Manurung ini lalu dilantik menjadi Raja di Kerajaan Gowa
dengan gelar Sombayya (Yang Disembah).
Di Soppeng turung To Manurung di Sekkanyili’
bernama La Temmamala. Di Sidenreng turun To Manurung di Bulu’ Lowa, di Sawitto
turun To Manurung Akkajeng dan di Pare-Pare turun To Manurung di Bacukiki yang
bernama La Bangengnge.
To Manurung di Maros
Di
Maros, pada masa “Sianre Bale”, kehidupan masyarakat sangat kacau, tanaman
tidak ada yang membuahkan hasil, penyakit menular mewabah dimana-mana, yang
kelihatan keadaan ini berlangsung dalam suasana yang runyam seabab tiada
tanda-tanda kapan akan berakhir.
Suatu
hari di suatu wilayah perkampungan bernama Pakere, Ketua Kaum yang bergelar
Gallarang Pakere, yaitu pemimpin masyarakat di daerah tersebut memimpin
orang-orang yang masih memiliki semangat hidup untuk memohon kepada Dewata
Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) agar mereka diberi seorang pemimpin yang dapat
menghantar mereka keluar dari zaman kegelapan itu kepada zaman yang lebih baik.
Tidak pernah bosan mereka bermunajat dengan tiada memilih waktu, pagi, siang,
dan malam begitu seterusnya.
Hari
berganti hari, bahkan minggu berganti minggu hingga pada suatu ketika turun
hujan yang sangat lebat, kilat dan peitr meraung-raung membelah angkasa. Langit
hitam kelam seakan tidak tertembus cahaya matahari. Keadaan seperti ini
berlangsung selama sepekan. Paniklah penduduk Pakere, disangkanya adzab Dewata
justru dating untuk memusnahkan kehidupan mereka. Mereka akhirnya jadi pasrah,
seakan tak berdaya melihat kemurkaan alam pada saat itu.
Namun
tanpa mereka duga, disaat mereka pasrah menerima apa yang akan terjadi, hujan
justru tiba-tiba berhenti, langit berubah cerah dan terang benderang. Sinar
matahari menyengat seakan tak pernah terjadi apa-apa, tanah kering dan tak ada
genangan air atau tanah becek berlumpur akibat hujan. Dalam keheran-heranan,
penduduk keluar dari rumahnya masing-masing dan pada saat seluruh penduduk
keluar, tampak pula secara tiba-tiba dari kejauhan di tengah-tengah sebuah
padang berdiri sebuah Saoraja (Istana) yang sangat indah dan besar. Entah siapa
yang membangunnya dan sejak kapan berdirinya, sebab sebelumnya di tempat dimana
Saoraja itu berdiri hanyalah sebuah padang yang ditumbuhi ilalang liar, tempat
penduduk menggembalakan ternaknya.
Dengan
dipimpin oleh Gallarang Pakere penduduk serentak bergerak menuju kesana. Betapa
herannya mereka semua ketika melihat di depan Sapana (Tangga Istana/Saoraja)
tersebut, seorang lelaki muda berwajah tampan bersih dan berwibawa duduk di
atas sebuah kursi bamboo. Badannya keras berotot, di kepalanya bertengger
sebuah Lingkayo (semacam Mahkota) terbuat dari emas, pakaiannya merah menyala
berhias kalung garuda di dadanya. Di kedua tangannya melilit sepasang gelang
berbentuk naga yang juga terbuat dari emas. Di pinggang bagian depan terselip
sebilah keris berhulu emas dan berantakan permata aneka warna. Di pangkuannya
tersandar sebilah alameng (kalewang) yang gagangnya terbuat dari kayu hitam
mengkilat, warangkahnya terbuat dari kayu cendana berlurik kulit harimau.
Tatapannya tajam memancarkan kewibawaan,
namun kelihatan bibirnya tersungging penuh kharisma melihat penduduk
berdatangan mendekat di depannya.
Menyembahlah
Gallarang Pakere diikuti oleh semua yang menyertainya. Setelah disuruh bangkit,
Gallarang Pakere lalu bertanya tentang siapa dirinya, lalu dijawab bahwa
dirinya adalah seorang To Manurung. Gallarang Pakere lalu kembali menyembah dan
memohon perkeanaannya untuk menetap dan bersedia diangkat sebagai Raja yang
memimpin mereka dalam bermasyarakat. Maka terjadilah dialog yang meripakan
kontrak penjanjian antara Gallarang Pakere atas anama seluruh rakyatnya dengan
To Manurung itu, disepakatilah bahwa To Manurung di Pakere diangkat menjadi
Raja dengan gelar Karaeng LoE ri Pakere, gelar yang dipilihnya sendiri.
Sejak
kedatangan Karaeng LoE ri Pakere kehidupan rakyat berubah total. Peraturan
hidup kemasyarakatan mulai ditegakkan. Mereka diwajibkan saling menghormati hak
asasi masing-masing, tidak lagi saling merampas seperti keadaan sebelumnya
pertanian menjadi subur dan member hasil yang melimpah ruas.
Karaeng
LoE ri Pakere sangat rajin memimpin rakyatnya mengolah sawah dan ladang. Diberinya
petunjuk cara menanam dan memilih bibit tanaman yang baik. Karaeng LoE ri
Pakere bebar-benar menciptakan tatanan hidup bermasyarakat secara teratur
sehingga rakyat hidup sejahtera, aman, dan sentausa.
Pada
awalnya wilayah kekuasaan Karaeng LoE ri Pakere hanyalah meliputi Kampung
Pakere, Banyo, Rumbia dan sekitarnya. Selanjutnya setelah peran dan kemampusn
Karaeng LoE ri Pakere memimpin rakyat dan memajukan kerajaannya, maka banyaklah
Ketua-Ketua Kaum/ Kepala-Kepala Kampung (Gallarang/Matowa) yang dating untuk
mangabdi kepadanya sekaligus memaklumkan wilayahnya sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan Karaeng LoE ri Pakere, sehingga pada akhirnya menjadi luad dan
berkembang pesat. Berita itu tentunya membias ke sekitar wilayah Kerajaan Karaeng LoE ri Pakere, yaitu sampai kek
Kerajaan Bone, Bone, dan Polongbangkeng. Akhirnya Karaeng LoE ri Pakere
menjalin hubungan persahabatan dan tidak saling menyerang dalam bentuk
traktat perjanjian tertulis antara
Karaeng LoE ri Pakere dengan I Daeng Manguntungi Karaeng Tumapa’risi Kallongna
(Raja Gowa IX), La Olio Bite-e (Raja Bone), dan Karaeng LoE ri Bajeng (Raja
Polongbangkeng I). Maka sejak kejadian itu terciptalah sebuah Kerajaan yang
cukup ternama di Maros di bawah pemerintaha Karaeng LoE ri Pakere.
Naskah
perjanjian yang dilakukan oleh Karaeng LoE ri Pakere dengan 3 orang Raja dari
Kerajaan Gowa, Bone, dan Polongbangkeng, menurut Alm. H. A. Sirajoeddin dg. Maggading Karaeng Simbang XII menjadi salah
satu dari regalia/kalompoang Kerajaan Simbang.
Perbandingan Mitos To Dipanurung di Mandar dan Kisah
To Manurung Batara Guru dalam La Galigo
Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya,
sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar,
dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis
Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan cultural
Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan.
Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara 7 Kerajaan di pesisir (Pitu
Ba’ba’na Binanga) dan 7 Kerajaan di Gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis
Pitu Ulunna Salu atau biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup
Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri
terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Ke 14 kekuatan ini saling
melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian
yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Mitos To Dipanurung di Mandar
Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang To Manurung
(lontar ini menggunakan terminology “To Dipanurung”, namun dalam terjemahan
istilah yang dipakai Bapak Azis ialah To Manurung) atau orang yang turun dari
langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. To
Manurung ini ada 2 orang, To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki
dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan
kemudian melahirkan seorang putra bernama To banua Pong (Orang Kampung Tua). To
Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan
sepupu sekalinya dan menurunkan 5 anak.
Ke 5 anak To Banua Pong ini
antara lain, I Landoq Beluaq sebagai anang perempuan sulung, I Laso Keppang, I
landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq sevara harfiah
berarti “Si Rambut Pangjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan
dari daerah Bone yang menelusuri sehelau rambutnya yang lepas di sungai ketika
mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel Si Putri Berambut Panjang dari Jerman.
Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri
yang jahat, ia justru dibebaskan untuk menikah dengan Sang Pangeran lalu pergi
menuju ke Selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak Kedua, I Laso Keppang,
berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke
Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir, I
Paqdorang tinggal di Bittuang.
Paqdorang memperistrikan seorang
wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir 4 bersaudara, I Tasudidi,
Sibannangang yang menjadi leluhur Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya
namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang
yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita
dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai disitu, sehingga disitulah perahu Pongkapadang
berlabuh. Dalam versi Kondosapata. Pongkapadang menggembara hingga tiba dipesisir
pantai Ulu Manda’. Mamuju yang kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi
laut ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu ia angkat
sebagai istri dan ia beri nama To ri Je’ne’ (Bahasa Makassar, to=manusia,
ri=dari, je’ne=air). To ri Je’ne ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam
versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil
perkawinannya dengan To ri Je’ne’, Pongkapang mendapat 7 orang anak dan 11
orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata, Dadi Tau Pitu,
Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai
leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah, dan Selatan.
To Dipanurung di Mandar dan To Manurung di Bugis
Kisah di dalam Lontara
Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi
lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana
yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak
berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsure berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan
masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia dibumi diawali oleh
kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi
(lautan).
Karakter To Dipanurung yang
merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di
Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti
“manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang
keluar dari bamboo”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh
Batara Guru dan We Nyiliq Timoq. To Manurung dan To Tompoq dalam La Galigo.
Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambo betung, sehungga kelak
cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bamboo). We Nyiliq Timoq yang
dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan “To TompoE ri Busa Empong”
alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautab. Perbedaan antara kedua
mitos ini terketak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo
tokoh laki-laki ialah ia yang menetas dari bamboo betung, maka di dalam versi
Lontara Pattodioloang ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di
dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buah ialah
seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang ia justru berjenis kelamin
laki-laki. Perlu di catat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti
Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan
To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah
Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.
Sebagian
sumber sejarah Mandar, sebagaiman yang disarikan oleh DRS. Anwar Sewang, konon
menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan
Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo
tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara lain selain permaisurinya,
We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai
karakter pernamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bamboo
betung” dan “manusia yang muncul tiba-tiba dari busa di lautan” inilah generasi
maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sitem-sistem nilai.
Hal yang menarik dari mitos To
Dipanurung ialah, pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode “Sianre
Bale Tauwwe”, bermunculan banyak To Manurung diberbagai daerah di Sulawesi
Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa,
Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi di daerah Mandar
sepanjang sejarahnya hanya ada To Manurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu
Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu, To Kombong di Wura dan To Bisse di
tallang. To Manurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan
membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali
leadership dan kemampuan luar basalah yang menjadi pemimpin (tomakaka,
maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti ongkapadang, To Lombeng Susu,
Maraqdia To Dilaling, dan lain sebagainya.
Sebenarnya ada sosok To Manurung
lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri To Nisesse di Tingalor. Akan
tetapi, ia tidak dapat digolongkan ke dalam katergori To Manurung yang sengaja
turun untuk membina umat manusia. To Nisesse di Tingalor merupakan Putri
seorang Dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih
menuri untuk Upacara Kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan,
namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa mandar : Tingalor) dengan
cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu
tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam
perut ikan.
Ketika dibelah, ia menemukan
Sang Putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini
bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias
yang berasal dari Sang Putri sebagai pusaka. Sang Putri di bawah kepada Raja
Pamboang lalu dinikahkan dengan Putra Mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai
seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, To Nisesse di Tingalor
memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari ia
tengah bernyanyi untuk bayinya, Sang Suami dating dan meminta Sang Putri
bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, Sang Suami tetap tetap
memaksa. Dengan berat hati, To Nisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam
sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting
Langiq. Ternyata benar, setelah ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil
di atar rumah mereka membuka dan tiba-tiba To Nisesse di Tingalor melayang ke
angkasa. Dengan penuh tangis ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan To
Nisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi
asal mula Tari Pattuduq Mandar.
Kesamaan budaya antara Mandar,
Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari
segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif local, serta adat
istiadat. Perbedaan yang ada antara ke 4 etnis serumpun ini janganlah dijadikan
sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan
budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi asset besar demi
kemajuan Indonesia di masa mendatang.
Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang
sipakalewa, manus siparappe (lupa sama
mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut
sama mendaratkan).
Karampuang, Kampung Adat di
Kabupaten Sinjai
Karampuang
adalah nama sebuah kampung yang terletak sekitar 31 km arah barat Ibu Kota
Kabupaten Sinjai yang memiliki sejarah panjang serta beberapa keunikan yang
disandangnya. Segala keunikan itu lahir bersama dengan sejarahnya. Kehadiran
Karampuang ini berawal dari adanya suatu peristiwa besar yakni dengan munculnya
seseorang yang tak dikenal, dan dikenal sebagai To Manurung. To Manurung ini
muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam
Lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai, berawal
di Karampuang. Dahulu daerah ini adalah merupakan wilayah lautan sehingga yang
muncul laiknya tempurung yang tersembul di atas permukaan air. Di puncak
Cimbolo inilah muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung KarampuluE
(seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata
KarampuluE tadi akhirnya berubah menjadi Karampuang.
Penamaan
selanjutnya adalah perpaduan antara karaeng dan puang akibat dijadikannya
lokasi itu sebagai pertemuan antara orang-orang Gowa yang bergelar karaeng dan
orang-orang Bone yang bergelar puang. Setelah Manurung KarampuluE diangkat oleh
warga untuk menjadi raja, maka dia memimpin warga untuk membuka lahan-lahan
baru. Tak lama kemudian dia mengumpulkan warganya dan berpesan, eloka tuo, tea
mate, eloka madeceng, tea maja; ungkapan ini adalah suatu pesan yang
mengisyaratkan kepada warga pendukungnya untuk tetap melestarikan segala
tradisinya. Setelah berpesan maka dia tiba-tiba lenyap. Tak lama kemudian
terjadi lagi peristiwa besar yakni dengan hadirnya tujuh to manurung baru yang
awalnya muncul cahaya terang di atas busa-busa air. Setelah warga mendatangi
busa- busa itu, maka telah muncul tujuh to manurung tadi dan diangkat sebagai
pemimpin baru. Pemimpin yang diangkat adalah seorang perempuan sedangkan
saudara laki-lakinya diperintahkan untuk menjadi raja di tempat lain dan
menjadi to manurung-to manurung baru. Dalam lontara dikatakan,”lao cimbolona,
monro capengna”. Pada saat melepaskan saudara-saudaranya, dia berpesan,”nonnono
makkale , lembang, numapolo kualinrugai, numatanre kuaccinaungi, makkelo
kuakkelori, ualai lisu.” (Turunlah ke daratan datar, namun kebesaranmu kelak
harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu
kelak turut menaungi leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu adalah atas
kehendakku juga, kalau tidak, maka kebesaranmu akan aku ambil kembali).
Akhirnya
mereka menjadi raja di Ellang Mangenre, Bonglangi, Bontona Barua, Carimba,
Lante Amuru dan Tassese. Dalam perjalanannya, masing-masing diamanahkan untuk
membentuk dua gella. Dengan demikian maka terciptalah 12 gella baru yakni Bulu,
Biccu, Salohe, Tanete, Maroanging, Anakarung, Munte, Siung, Sulewatang bulo,
Sulewatang salohe, Satengnga, Pangepena Satengna. Setelah saudaranya telah menjadi
raja, saudara tertuanya yang tinggal di Karampuang pun lenyap dan meninggalkan
sebuah benda. Kelak benda inilah yang dijadikan sebagai arajang dan sampai saat
ini disimpan di rumah adat. Sedangkan untuk menghormati to manurung tertua ini,
maka rumah adatnya, semuanya dilambangkan dengan simbol perempuan.
Kerajaan
Siang
Kerajaan Siang adalah sebuah kerajaan yang pernah ada dan
berkembang di bagian barat jazirah Sulawesi Selatan, Bekas pusat wilayahnya berada di Sengkae', Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan atau Pangkep saat ini. Dan merupakan
lokasi Makam Raja Siang Yang Tepatnya Berada di Kampung Siang.
Pengantar
Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang”
berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage
rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah
Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan
1548. (M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur
Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan
besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali
muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Tallo atau Kerajaan Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan
yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004).
Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama
Raja Kodingareng (Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don
Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (Pelras, 1985, A Zainal Abidin
Farid : 1986 dalam Makkulau, 2007).
Catatan Portugis tentang Kerajaan Siang
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak
dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada
tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin
terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya
sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53).
Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Gowa dan Tallo pernah
jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan
Arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa
kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 :
54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang
dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke
arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) .
Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa,
Siang dan Gowa (Pelras, 1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa
adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang,
namun tidak lagi begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini
menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran
sekitar Abad 14 – akhir Abad 16.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat
perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV - XVI. Pengaruhnya
menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan
Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan
Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat
dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan SombaOpu. Kerajaan itu tak lain
Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan
Raja Gowa IX,Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa
petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
(Pelras 1977 : 252-5).
Sumber Lisan dan Tulisan tentang Kerajaan Siang
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut
Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu
menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan,
Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng bergelar Puteri Kemala
Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi
ma'gauka) sampai tiba masanya Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan
Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).
Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai
lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan
Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa
dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras
mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa
pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar Raja – raja dari negeri
besar lain yang melintasi teritori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang”.
(M Ali Fadhillah, 2000 : 17).
Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan
situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras (1977 :
243) melihat, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan
pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa dimana Siang sedang menurun dalam
perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori
Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang mengacu pada apa yang
dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).(M Ali
Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan,
Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal,
tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa
Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan
pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada
masa jatuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang,
semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari
daratan Asia Tenggara daratan lainnya. (Makkulau, 2005).
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat
pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan
koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi
utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat
politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis
tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah
et, al, 2000 dalam Makkulau, 2005).
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber
alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang
dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal
jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai
akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa
perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi
basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman
dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas
utama. (Makkulau, 2005, 2007).
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Kerajaan Malaka (Tahun 1511), Pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan
tempat – tempat yang terikat dalam jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun
Pires menduga bahwa perdagangan Macacar masih kurang penting, tetapi sejak itu,
sudah menawarkan rute langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir
selatan Kalimantan dan Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional
melalui pesisir utara Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu
sampai pertengahan Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu
sejak perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir
barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar.
Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus
akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan,
beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam Fadhillah,et.al, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang.
Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti
Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa'rasanya Tubarania naik sebagai penguasa
lokal, I Joro juga digelari Lo'moki Ba'le (penguasa dari seberang), karena ia
kembali dari seberang laut (Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke
negeri sebelah barat nusantara. (Makkulau, 2005, 2007).
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa
Labakkang turut membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene. Setelah Gowa kalah dari Kompeni Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke dalam
kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu
menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu
didampingi anggota adat Bujung Tallua , yang berkuasa di unit politik dan
teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih
kompleks lagi dengan bergabungnya Penguasa - penguasa kecil lainnya. (Makkulau,
2005, 2008).
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri
taklukannya itu adalah menempatkan Bate Ana' Karaeng , biasa disebut
bate-bate'a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada
puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi
bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber
sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa –
Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668.
(Makkulau, 2005).
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi
kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga
raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan
keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga
Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga
Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin
dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin - mawin itu telah menjalin
hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori politik
seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan Segeri
juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone
dan Soppeng. Demikian pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun pada
awalnya Labakkang merupakan keturunan Raja – raja Luwu, Soppeng dan Tanete.
Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah menyatukan
darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat –
istiadat. (Makkulau, 2005, 2007).
Silsilah Keturunan Raja Siang
Silsilah raja – raja
Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai
berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro)
Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad
ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5)
Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ;
(7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di
Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince
Wangkang dari Malaka ; (10) Sollerang Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg
Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13)
Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ; (15)
Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu. (Makkulau, 2005 ;
2007).
Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja
atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan
hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2)
Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri
Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau
acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini
juga diharapkan hadir Oppoka ri Pacce'lang. (Makkulau, 2005 ; 2007)
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa (
A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari
keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh
Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu
(Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa
generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro'), sahabat Arung
Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang
sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (pada masa kompeni Belanda).
(Makkulau, 2005 ; 2007)
Temuan Arkeologi
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan
bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh
benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang
menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna
kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai
Siang yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27). Indikasi arkeologis
pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan
telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang
diperkirakan terjadi pada akhir Abad 16.
Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa
menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri
Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat
politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang
dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka
(empat bangsawan kepala) : Kare Kajuara, Kare Sengkae, Kare Lesang dan
Kare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan
membentuk konfederasi dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaengta
Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka ri Paccelang.
(Fadhillah, et.al, 2000).
Temuan–temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori
Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow
BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang
berasal dari Abad 17 - Abad 18. Juga ada fragmen keramik dari Abad 16 seperti
Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam.
Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing Dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang
menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang
sekurang-kurang berasal dari Abad 17 - Abad 18 (M Ali Fadhillah dkk,
2000 : 72).
Manurung-E ri Matajang, Mata
SilompoE (1326–1358)
Konflik Antar Kalula
Selama tujuh pariama (diperkirakan kurang-lebih 70
tahun) yang disebut sebagai Bone pada awalnya hanya meliputi tujuh unit anang (kampung) yakni; Ujung, Ponceng, Ta’, Tibojong, Tanete
Riattang, Tanete Riawang dan Macege, tenggelam dalam situasi konflik
yang berkepanjangan. Kondisi ini dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah sianre bale, dimana yang
kuat memangsa yang lemah. Luas Bone pada masa itu terbilang lebih kecil dari
Ibukota Kabupaten Bone, Watampone sekarang.
Masing-masing anang dipimpin oleh seorang Kalula, gelar
pemimpin kelompok. Situasi politik ini merupakan akibat langsung dari kondisi
tidak adanya (lagi) tokoh yang mereka anggap sebagai pemimpin besar yang dapat
mempersatujuan visi dan misi ke tujuh anang
tersebut. Menurut lontara’, hal ini secara implisit dijelaskan dalam Sure’ La Galigo,
lebih disebabkan oleh punahnya (sudah tidak terdeteksinya) keturunan-keturunan La Galigo di Bone.
Ketujuh pemimpin (kalula)
kelompok masyarakat (anang) saling mengklaim
“hak” atas kepemimpinan wilayah Bone tersebut. Ada juga budayawan yang menyebut
Kalalu Anang Cina,
Barebbo, Awampone dan Palakka sudah turut dalam perjanjian ManurungE dengan
orang Bone, namun karena kurangnya data/lontara’ yang mendukung, penulis
menafikan pernyataan tersebut.
Konflik antar kalula berlangsung selama
bertahun-tahun. Masing-masing mengkalim sebagai keturunan La Galigo yang,
karena keterbatasannya tidak mampu menunjukkan bukti-bukti (mereka belum
mengenal silsilah), merasa berhak atas kepemimpinan dikalangan kalula. Semangat
kejahiliyahan membara untuk saling atas-mengatasi sehingga perang saudara
(kelompok) tidak bisa dihindari.
Catatan
Ada yang menafsir satu pariama sama dengan
seratus tahun, ada pula yang mengatakan sepuluh tahun; namun beberapa informasi
dari lontara’ lebih rasional mengikuti yang sepuluh tahun).
Manurung-E
Manurung-E, berasal
dari bahasa Bugis yang dalam terjemahan bebasnya berarti “orang yang turun dari ketinggian“.
Dalam aturan bahasa bugis, khususnya Bugis-Bone, akhiran E dipakai untuk
menunjuk kata kepunyaan, akhiran ‘nya’ dalam bahasa Indonesia. Sehingga akhiran
E pada
kata Manurung yang
diikutinya akan menunjukkan arti dialah
orang yang turun dari ketinggian.
Kepercayaan Bugis-Makassar sebelum mengenal
Islam, Manurung-E atau Tu Manurung (red. Makassar) dianggap sebagai perwujudan tuhan, dewa (Bugis-Bone: dewata
seuwwaE); manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai
manusia pertama (Adam). Namun seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, sulit
rasanya untuk menerima argumen-argumen to-riolo
(nenek moyang). Sejumlah asumsi yang dibangun oleh ahli sejarah pun
tidak cukup memberikan pemahaman yang memadai kepada kita dikarenakan kurangnya
bahan kajian. Satu hal penting yang disepakati oleh para budayawan adalah bahwa
Manurung-E merupakan manusia yang mempunyai kelebihan dibandingkan manusia
lainnya; pandai dan mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan masyarakat
sekitarnya.
Hal ini juga dipertegas dalam lontara’ yang
mengisahkan adanya sekelompok masyarakat yang menyambutnya kemudian memintanya
untuk menjadi raja/mangkau’. Oleh sebab itu, disinyalir to manurung
sebagai orang suci (saint)
yang sedang dalam perjalanan spiritual. Namun, kemudian terdampar pada sebuah
daerah (bugis) yang ‘kebutulan’ belum memiliki sosok pemimpin/raja.
Berbeda dengan di daerah lain, sebut misalnya
di pulau Jawa, yang banyak meninggalkan jejak sejarah seperti prasasti yang
informasinya dapat bertahan lama. Oleh sebab itu, lontara’ harus diletakkan
pada posisi terdepan sebagai bahan kajian untuk mengungkap misteri perjalanan
suku-suku di Sulawesi.
Selain di Nederland-Belanda, keberadaan
lontara yang mempunyai informasi penting mengenai sejarah Kerajaan Bone, khususnya
kebudayaan Bugis-Makassar, disinyalir masih banyak berserakan di tangan-tangan
penduduk. Namun ada kepercayaan benda-benda sejarah ini memiliki “tuah”
sehingga mereka enggan memberikan kepada peneliti. Mereka masih percaya bahwa
dengan memegang lontara,kewibawaan mereka akan tetap terjaga dan senantiasa
dihormati oleh masyarakat.
Berdirinya Kerajaan Bone
Dalam lontara’ disebutkan, ketika keturunan
dari Puatta Menre’E ri
Galigo malawini
darana (bangsawan dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai
akibat perkawinan) terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok
pimpinan yang berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos. Norma-norma hukum
tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan ummat tak ubahnya binatang di hutan
belantara, saling memangsa dan saling membunuh. Bone butuh sosok pemimpin,
namun dari kalangan mereka tidak ada yang saling mengakui keunggulan satu sama
lain.
Ketika konflik tengah berlangsung, sebuah
gejala alam yang mengerikan melanda wilayah Bone dan sekitarnya. Gempa bumi
terjadi demikian dahsyatnya, angin puting beliung menerbangkan pohon beserta
akar-akarnya, hujan lebat mengguyur alam semesta dan gemuruh guntur diiringi
lidah kilatan petir yang menyambar datang silih berganti selama beberapa hari.
Gejala alam seperti ini juga diceritakan dalam pararaton (Kitab Raja-raja) dan prasasti
peninggalan kerajaan Majapahit.
Sesaat setelah hujan reda, dari ufuk timur
muncullah bianglala. Tidak berapa lama, di tengah padang nampak segumpal cahaya
yang menyilaukan mata, muncul sosok manusia mengenakan pakaian serba putih (pabbaju puteh). Karena
tak seorang pun yang mengenalnya, orang-orang menganggapnya sebagai To
Manurung, manusia yang turun dari langit. Cerita kemunculan To Manurung ini
cepat menyebar di kalangan Kalula. Dan mereka pun mengunjungi Sang Misteri.
Para kalula anang (pemimpin
kelompok) kemudian mengorganisir diri berembuk untuk, dan sepakat, mengangkat
To Manurung menjadi raja mereka. Bersama dengan orang banyak yang berkumpul
tersebut, para kalula kemudian berkata,
Kami semua datang ke sini memintamu agar
engkau tidak lagi mallajang
(menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi
mangkau’. Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti.
Walaupun anak isteri kami engkau cela, kamipun akan turut mencelanya asal
engkau mau tinggal.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Bagus sekali maksud tuan-tuan, namun perlu
saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi Mangkau sebab
sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau
benar-benar mau mengangkat mangkau’, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah
bangsawan yang saya ikuti.”
Orang banyak berkata,
“Bagaimana mungkin kami dapat mengangkat
seorang mangkau yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang
mangkau, aya akan tunjukkan tempat matajang (terang), disana lah bangsawan itu
berada”.
Orang banyak berkata,
”Kami benar-benar mau mengangkat seorang
mangkau, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke
tempatnya”.
”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab,
”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang
disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang
banyak mendekati To Manurung yang berpakaian kuning keemasan. Berkatalah orang
banyak kepada To Manurung,
”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar
engkau menetap. Janganlah (lagi) engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan
tenang agar kami mengangkatmu menjadi mangkau’. Kehendakmu kami ikuti,
perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri-kami engkau cela, kami pun
(turut) mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”
Manurung menjawab,
”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak
berbohong?”
Setelah terjadi tawar menawar, semacam
kontrak sosial, antara To Manurung dengan orang banyak (kalula anang),
dipindahkanlah Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak
diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang.
Salah satu kelebihannya yang menonjol adalah jika datang di suatu tempat dan
melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga
digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi mangkau’ pertama di Bone.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri
Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan
hak-hak kepemilikan orang banyak), mappasikatau
(meredakan segala macam konflik horisontal) dan pangadereng (mengatur
tatacara berinteraksi sesama masyarakat). ManurungE ri Matajang pula yang
membuat bendera kerajaan yang bernama woromporong-E
berwarna merah dan putih –mirip bendera Republik Indonesia
sekarang.
Setelah genap eppa pariyama
(empat dekade) memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang
Bone dan menyampaikan,
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk
menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara
kita (ketika menunjuk/ngangkat aku sebagai Mangkau’-Bone”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan
kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang
dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan teddum-pulaweng (payung
kuning keemasan) turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran. Oleh
karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai
Mangkau’ di Bone.
Keturunan
Manurung-E ri Matajang kawin
dengan We Tenri
Wale-ManurungE ri Toro. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa, We Pattanra Wanuwa,
dan We’ Samateppa (lima
bersaudara, dua diantaranya tidak tercatat [belum] ditemukan dalam lontara’).
Namun, berdasarkan laporan penelitian dari
tim Royal
Ark diperoleh informasi bahwa hasil perkawinan Manurung-E ri Matajang dengan
We Tenri
Wale-Manurung-E ri Toro mempunyai dua orang putera dan empat
orang putri yakni:
- Bolong-Lelang, meninggal masa kanak-kanak;
- La Ummasa To Mulaiye Panreng, yang selanjutnya menjadi
Arumpone kedua;
- We’ Tenri Ronrong, meninggal masa kanak-kanak;
- We Pattanra Wanuwa, kawin dengan La Pattikkeng-Arung Palakka.
Dari hasil perkawinan ini lahirlah Latenri
Longorang, La
Saliyu Karampeluwa Pasadowakki yang selanjutnya
menggantikan pamannya menjadi Arumpone, We Tenri Pappa yang kawin dengan La
Tenri Lampa-Arung Kaju, We
Tenri Ronrong kawin dengan dengan La Paonro-Arung Pattiro;
- We Tenri Salogan kawin dengan La
Ranringmusu-Arung Otting; dan
- We Arantiega kawin dengan La
Patongarang-arung Tanete
Catatan
Awal berdirinya Kerajaan Bone atas dasar:
musyawarah, diangkat secara langsung oleh ketua kelompok (anang) -sepadan
dengan wakil rakyat di DPR sekarang, pemimpin diangkat untuk kepentingan
bersama bukan atas dasar kepentingan golongan atau kelompok, dll.
1. Kerajaan Tanete
Mula-mula namanya Pujananting
kemudian menjadi Agangnionjo dan akhirnya menjadi Tanete. Pada sekitar abad
ke-17 disebut Agang Nionjo konon karena letaknya strategis dan selalu dilewati
orang daerah lain, jalan ini dalam bahasa makassar (agang) dilewati (nionjo).
Kerajaan
Agangnionjo (Tanete) mulai berdiri disekitar abad ke-XVI, pada tahun 1547
Masehi, dengan rajanya yang pertama Datu Golla’E. luas kerajaan Agangnionjo
sekitar 465 km2 dengan batasan wilayah sebagai berikut :
-
Sebelah
Utara berbatasan dengan Barru
-
Sebelah
Timur berbatasan dengan Bone dan Soppeng
-
Sebelah
Barat berbatasan dengan Selat Makassar
-
Sebelah
Selatan berbatasan dengan Pangkajene Kepulauan
Pada masa penjajahan VOC
atau Belanda, ibu kotanya adalah “Pancana” dan sejak tahun 1950 dipindahkan ke
Pekkae. Demikianlah di Tanete, sepasang To Manurung yang dijumpai di
jangan-jangan oleh Arung Pangi dan Arung Alekale sewaktu berburu dikehendaki
menjadi Raja, namun karena alasan tertentu malah meminta Datu Golla’E dari
segeri menjadi pemimpin. Barulah raja kedua Tanete dijabat sebenar oleh orang
To Manurung tersebut.
To Manurung mula-mula dijumpai
di daerah jangan-jangan suatu gugusan perbukitan di gunung Lakoajang kecamatan
Pujananting yang berbatasan dengan Kabupaten Bone disebelah timur, Pangkep
disebelah barat, dan kabupaten Maros disebelah tenggara. Orang-orang pangi
berburu, mendapati sepasang suami isteri yang berdiam di suatu gua, dimana
keperluan sehari-harinya banyak disediakan oleh burung (Jangang) (makassar).
Mereka mengatakan orang pangi, bahwa mereka tidak mengetahui asal-usulnya.
Orang Pangi memanggil tetangganya ale kale untuk mengajak orang ini turun
kekampung dan tinggal bersama mereka.
Setelah waktu berlalu, orang
yang dianggap To Manurung ini telah mempunyai empat orang anak, satu perempuan
tiga laki-laki. Anak perempuannya dinikahkan dengan putra Arung Alekale yaitu
suatu daerah pegunungan di daerah Pujananting sekarang. Pada tahun 50-an masih
termasuk Desa Patappa Tanete Riaja. Kemudian anak laki-lakinya juga berkeluarga
dan hidup terpencar, turunan mereka yang dianggap To Manurung disebut To
Sagiang.
Sepasang suami istri ini yang
hendak dinominasikan sebagai raja atau memerintah wilayah ini, namun karena
anaknya selalu bertengkar memperbutkan harta kekuasaan, maka dia mengambil
penguasa dari Segeri yang masih kemanakan raja Gowa untuk menjadi raja di
Tanete, yaitu : Datu Golla’E. Raja kedua setelah raja pertama meninggal,
dijabat oleh salah satu anak laki-laki To Manurung yaitu Puang Loloti UjungE.
Namun karena keadaan iklim yang tidak bersahabat membuat tanaman padi mati,
ikan sulit ditangkap, namun lagi banyak orang yang terserang flu. Dia merasa
tidak direstui dewata, sehingga menyingkir pada suatu tempat bernama Parrokose,
sekitar pegunungan Tanete sekarang. Disebutkan beberapa tempat di Tanete yang
dulu masih bernama Agangnionjo menjadi tempat menetap keluarga To Sagiang
tersebut, seperti Tekee, Lamanggade, Pattappae. Botto-Botto, Panen, Lampona,
Mallawae, Sangaji, Batulllepponae, Laponci, Lempa, Perokassi, Balenang,
Pattippung, Bottoliro, Soga, Mattampawalie, Dengeng-Dengeng, dll.
To Manurung vs To Sangiang
STUDI KASUS MASA AWAL KERAJAAN TANETE
Proses awal keberadaan kerajaan- kerajaan
yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali dengan mitos-mitos
sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang diakui bahwa sebelum
mitos-mitos itu muncul dan menjadi suatu konsep legalitas kerajaan, sebenarnya
kerajaan- kerajaan itu telah lama ada dan eksis menurut pemikiran kolektif
kelampauan mereka seperti kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, Wajo, Tanete dan
kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Mitos itulah yang memunculkan tokoh
Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya. Namun yang paling menakjubkan karena
kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya konflik-konflik internal kerajaan
yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang dianggap sebagai juru selamat yang
membawa keamanan, ketentraman dan kemakmuran kerajaan dan terbukti memang
demikian.
Konstelasi politik kerajaan yang ada di
Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya kecenderungan untuk
menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang disebut Tu Manurung
seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan lain-lain. Namun
ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali adanya konflik
internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di Tanete. Sehingga
permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang adalah “kenapa
To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan konflik, dan
apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab pertanyaan
itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan kasus Tu
Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.
To Manurung di Bone diawali dengan mitologi
yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa To Manurung proses rawal
munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV. Demikian juga di Bone tidak
ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa Tu Manurung muncul pada
saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh unit kerajaan yang ada di
Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang paling layak memegang tahta
kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai datangnya Tu Manurung. Dimana
dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali dengan hujan ribut, guntur
menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan disertai angin kencang
sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa, nampaklah salah seorang
yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di Bone dan tidak ada yang
mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu Manurung (orang yang turun
dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya Tu Manurung untuk menjadi
raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa permintaanmu itu baik sekali
dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga hanyalah hamba, namun jika
rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud
pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan guntur bersambut-
sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud maka terlihatlah
oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki duduk
berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya yang
duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu memegang
payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas dan yang
satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah terjadi
tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak
perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal
integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu
Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula untuk dibandingkan
dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal kerajaan Tanete.
Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik internal kerajaan
tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang diperbandingkan mengenai
periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di kebanyakan kerajaan di
Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal kemunculan To Sangiang di
kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To Manurung banyak di beritakan
muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara To Sangiang di Tanete muncul
sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal kerajaan Tanete juga
mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan
lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain pada umumnya melahirkan
tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete melahirkan tokoh dengan
sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai dengan adanya ciri-ciri
berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air dan ikan yang banyak yang
sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung- burung yang mengabdi padanya di atas
Gunung Pangi. Keluarga To Sangiang inilah yang nantinya membuka lahan pertanian
yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran dan tempat itu tidak begitu jauh
dari laut dengan sebutan Arung Nionjo, kemudian menjadi Agang Nionjo dan
selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo sebagai cikal bakal
kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan Raja VII Tu Maburu Limanna.
Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai pada masa pemerintahan Tu
Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal kerajaan Tanete karena pada
masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan masyrakat Tanete yang
kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah tersebut diceritakan
adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan ke-Arungan atau
wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung. Adapun Arung yang
sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung Alekale. Dimana dikisahkan
Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan di kawasan pegunungan
Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah jangang-jangangnge
dijumpai sebuah tempayan (balubu)
yang berisi air, suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu
ternyata benar. Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di
sekitarnya beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka
dengan membawa ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan
kepada pasangan suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang rasa ingin tahu
Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri pasangan suami-istri
itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang diperoleh bahkan
menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan bahwa mereka
tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal mula datangnya
mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata angin, barat,
timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh pengiringnya
menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk mengajak
pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama “silakan
makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan nasi tetapi
hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”. Jawaban itu
menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan suami-istri ini.
Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting langi)
yang sering disebut Tumanurung
karena berada di puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari
dunia bawah (paratiwi)
melalui laut yang biasa disebut Tautompo
karena hanya memakan ikan mentah. Persoalan itu yang mendorong
Arung pangi dan pengiringnya menyebut pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah
bersantap, Arung Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan
menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan
turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya
berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi sampai di kerajaannya
mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga bersepakatlah Arung
Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka bertemu. Kemudian
Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang bersama kerabatnya
Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin persahabatan. Arung
Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada To Sangiang kiranya
berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Dengan
demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun To Sangiang merespon
tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan kepada Arung Pangi
sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk mengajak turun To
Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki hasrat yang sama
agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra Arung Pangi. Ketika
hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala kunjungan pertemuan
ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh Arung Pangi walaupun
Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa sangat gembira
menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak kembali untuk
menjemput puterinya.
Arung Pangi dan pengiringnya kembali ke Pangi
dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada Arung Alekale dan seluruh
kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To Sangiang. Hasil pertemuan
keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To Sangiang itu dengan putera
Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu berangkatlah rombongan ke tempat
kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan putera Arung Alekale dengan
puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung Alekale dan Arung Pangi itu
disambut gembira sehingga rencana peminangan dan pernikahan juga langsung
diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung Riale-alena setelah
menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang setelah beberapa waktu
pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung Alekake, mereka pun
berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan anak putranya sebanyak
tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat ketempat lain untuk mencari
daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan kemakmuran diantara mereka.
Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok akhirnya mereka memilih dan
menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali, kemudian ditempat itu
mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La Ponrang. Keluarga ini
semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan pertanian. Tetapi
keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung berselisi paham dan
bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang mereka kerjakan dan alat
yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu (salaga). Untuk mencegah
pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif yang lebih keras, To
Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke selatan dan mengolah
lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya pindah ke bagian utara di
daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap tinggal bersama orang
tuanya.
Solusi yang ditempuh To Sangiang untuk
memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan ternyata tidak
menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka, terbukti ketika
sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang dipakai adiknya.
Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi pertengkaran dan
perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya mengecewakannya tetapi juga
mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini sesungguhnya bukan tempat yang
pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk meninggalkannya dan mencari
tempat yang baru. Akhirnya disepekati untuk pindah ke tempat yang baru, dekat
dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La Poncing. To Sangiang membuka
areal persawahan yang dinamai La Mangngade, sementara puteranya yang sulung
membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan sawah ayahnya (selatan La
Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah Ujungnge, dan putera
bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran. Kemudian keseluruhan lahan
itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian berubah dan diabadikan menjadi
kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram dan memperoleh hasil usaha yang
berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil dikelola menjadi lahan
poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman yang baru ini mereka
boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh kebahagiaan dan
kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus. Berselang beberapa
tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan antara puteranya yang
sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu semakin hari semakin meningkat
intensitasnya dan mengarah pada tindakan kekerasan untuk saling membunuh.
Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti tempo yang lalu agaknya masih
kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari solusi yang lain. Namun uniknya
solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda pada kenyataan proses
penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai kedamaian, ketemtraman
dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu munculnya konsep Tu Manurung
sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada kerajaan yang ada di Sulawesi
Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri).
Yang ketika itu menjabat sebagai Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari
Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng
(1546-1565). Ketika To Sangiang meminta bantuan tersebut Karaeng Sigeri
menerima baik tawaran itu dan menyatakan bersedia membantu menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan tetapi tidak seketika itu juga
memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu rakyatnya telah memulai mengolah
lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Karaeng Sigeri untuk
tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan itu karena dalam
tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Sigeri dan
Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan
ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya. Jika
penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi
rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika
sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga mengisyaratkan bahwa
kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik tidaknya perilaku raja.
Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang
menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah
dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat
tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan
tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka. Maka dengan demikian
raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan menyayangi dirinya sendiri
agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir dan melekat pada semua
rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di Sigeri sebagaimana
janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam menyelesaikan
perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh. Akhirnya Karaeng
Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam menangani
perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang bersifat
persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan dan
perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak yang
bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda ucapan
terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan
Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan
atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada
kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa
Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta
pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan Karaeng Sigeri
menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya memberikan kepuasan
dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga kagum atas
kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga Agangnionjo pada
umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar bersedia menetap di
Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo. Kemudian rencana itu
dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama istrinya menemui dan
menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo itu. Apa yang menjadi
keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri bersedia menerima amanah itu.
Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan termasuk permaisuri mempersiapkan
diri dan berangkat bersama dengan diiringi pula dengan sejumlah matowanya ke
Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng).
Pelantikanpun segera dilaksanakan yang disaksikan oleh semua warga masyarakat
Agangnionjo termasuk mengundang Arung Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian
pelantikan itu pula To Sangiang menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat
Agangnionjo bahwa: “ kami semua keluarga dan kerabat memohon diberkati,
dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi oleh paduka raja tuanku,
seperti haknya dengan orang-orang Sigeri “. To Sangiang melantik Arung Sigeri
menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan diberi gelar Datu GollaE
(1552-1564).
Setelah pelantikan itu, dibangunkanlah istana
untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La Ponceng. Sebagai tanda
kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum, Arung Pangi dan Arung
Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan persembahan( kasuwiyang ).
Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya merupakan hasil produksi rakyat
itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi penguasa tetapi juga terkandung
nilai relegius yang menempatkan sang penguasa sebagai pemengang kendali politik
yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin rakyatnya hidup dengan tentram dan
sejahtera. Dalam masyarakat tradisional seorang raja (penguasa ) dipandang pula
memiliki dan menguasai kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan
untuk menciptakan tertib alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha
rakyatnya baik dalam bidang pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam melaksanakan roda
pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan pemerintahan dengan
sebutan Pangara-Wampang
Puang Lolo Ujung yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada
masa itu mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat
pesat. Setelah puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui
ajalnya dan digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja
satu tahun dia memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat
cobaan yang sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang
sehingga rakyat menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat
menyesal menjadi raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi
mengasingkan diri dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE
ri Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun hasilnya kembali
meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi makmur pula. Raja ini
memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan digantikan oleh Raja Daeng
Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk
jabatan pabbicara yang dijabat oleh La pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa
ini pula terjadi Perang Agangnionjo, yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo
dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang mula-mula ingin datang menentang kerajaan
Gowa atas berbagai kebijakannya yang dianggap tidak banyak menguntungkan
kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya
jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa untuk berperang. Nasehat itu tidak
diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke Gowa sehingga perangpun tidak bisa
dikendalikan dan berlansung beberapa hari. Atas kemenangan Perang itu,
Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu saudara dan diberi berbagai
kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng,
orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari tempat tinggal
dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia memerintah beberapa
tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui ajalnya dengan tenang
dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak diketahui nama aslinya).
Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak
diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang sangat terkenal karena kejujuran dan
kepintarannya, suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaan termasuk
punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng Sinjai ini penduduk Agangnionjo
semakin meningkat seiring dengan peningkatan dan kemajuan kemakmuran. Setelah
beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603)
menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai. Meskipun ia adalah raja yang
mewariskan kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier
pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan
rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan
aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan,
maupun dalam dunia perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan
ini berkembang pesat dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai
kebutuhan pangan, seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan
Makassar. Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam
bentuk bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar,
tetapi juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak
ada pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi
yang berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi
penaklukan dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat
dalam dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat
antara lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia perdagangan maritim
itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar niaganya, termasuk
pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal dengan sebutan
Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja mendirikan lojinya
dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak sebelah
selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan berkaitan
dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi pangan dari
kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada periodenya
datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor, yang
melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan
puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman
yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini berhasil membangun dan
mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam perdagangan maritim, namun
demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya
dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun raja Agangnionjo
melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu kunjungannya ke Sombaopu,
datang pula Opu Tanete ( Selayar ) menghadap raja Makassar yang menyampaikan
bahwa ia datang membawa duni ( peti mayat ) yang berisi jenazah putera raja
Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat perahu daganganya
tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja Makassar memohon kepada
Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu Tanete bersama pengiring
jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah itu dijaga bersama oleh
pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan tenaga untuk mengusung
peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang pengusungan jenazah itu
dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa iring-iringan itu adalah
iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh raja Anangnionjo dan Opu
Tanete ( Selayar ). Tampaknya dua pengiring dengan satu nama itu menumbuhkan
rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas saran raja Gowa supaya mereka
dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari Luwu, dua raja itu berikrar
membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya adalah: “ jika rakyat
Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete,
demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja Agangnionjo berada di perairan
Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan tergesah-gesah, wajib singgah walaupun
hanya sejenak, demikian pula sebaliknya dan sejak itulah nama Kerajaan
Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan kemudian nama ini
dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama Agangnionjo karena ketika
itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak hanya mencakup wilayah awal
kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To Maburu Limananna telah meliputi:
Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu, Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru,
Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru, Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri,
Balenrang, Salomoni, Boli dan Cenekko. Sementara beberapa daerah yang
digabungkan kepada Tanete adalah: Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda,
Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja yang sangat murah
hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka menolong orang yang
mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi dalamnya. Itulah pula
sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri Adenenna dan diberikan
tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu diberi nama Lipukasi. Sikap
murah hati itu menyebabkan raja ini sangat disenangi dan dicintai oleh
rakyatnya.
Sejarah To Manurung dan Bambapuang
Menurut
cerita orang tua kita dahulu mengatakan bahwa pada waktu dataran Pinrang dan
Sidenreng Rappang masih lautan datanglah orang-orang naik perahu masuk
kepedalaman melalui sungai Saddang langsung ke Tana Toraja dan sebahagian
mendarat dikampung Papi mendaki kegunung Bambapuang, di kampung Kotu Enrekang
membangun perkampungan, orang-orang inilah yang pertama datang di Masserempulu
dan Malepon Bulan Tanah Toraja sebagai penduduk asli. Keterangan orang-orang
tua kita ini adalah sesuai dengan pendapat ahli sejarah kita bahwa penduduk
asli Sulawesi Selatan adalah orang-orang Annam, Dongson Indo Cina dan Mongolia
yang datang melalui pulau Kalimantan pada kira-kira 1500 tahun sebelum masehi.
Penduduk
asli di gunung Bambapuang ini tersebar ke Timur daerah Duri, ke Selatan daerah
Maiwa Sidenreng, ke Barat daerah Pinrang dan Polmas ke Utara daerah Tana Toraja
bertemu dengan penduduk asli disana yang naik perahu melalui sungai saddang.
Penduduk asli di Bambapuang ini membangun Kampung Rura di sebelah timur gunung
Bambapuang dan kampung Tinggallung di sebelah baratnya. Dan penduduk kampung
Rura dan Tinggallung membangun kampung Papi, Kotu, Kaluppini, Bisang, Leoran,
Tanete Carruk dan kampung-kampung didaerah Maiwa, Duri, Pinrang, Binuang, Tanah
Toraja bagian selatan.
Beberapa
ratus tahun kemudian datanglah beberapa Tomanurun didaerah Tana Toraja dan
Masserempulu, antara lain Tomanurun Puang Tamboro Langi, To Matasak Malepon
Bulan di Kandora Mengkendek Tallulembangna Tanah Toraja dengan istrinya
Tomanurun Puang Sandabilik di Kairo Sangalla Tallulembangna Tanah Toraja.
Tomanurun Wellangrilangi di gunung Bambapuang kampung Kotu Enrekang. Tomanurun
Guru Sellang Puang Palipada dibuli Palli Posi Tanah kampung Kaluppini Enrekang
yang berasal dari Luwu bersama istrinya Embong Bulan dari Malepon Bulan Tana
Toraja.
Karena
cara berfikir Tomanurun lebih maju daripada penduduk asli maka Tomanurun
mengajar kepada penduduk asli adat istiadat dan membibing cara hidup yang lebih
teratur sampai kepada kelompok penduduk asli dengan nama Pake mengangkat
Tomanurun menjadi pimpinannya. Dimana Tomanurun menjalankan kepemimpinannya
berdasarkan kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan. Akan tetapi setelah
keturunannya menjadi Pemimpin dengan istilah Raja/Datu/Karaeng/Puang/Arung dll.
Kita
bersyukur karena pada abad XX. Masehi sekarang ternyata masih banyak keturunan
Tomanurun di daerah kita yang masih berpegang kepada kepemimpinan Tomanurun
ialah kemanusiaan, keadilan dan kerakyatan, karena terbukti didalam Revolusi 17
Agustus 1945 menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, banyak keturunan
Tomanurun yang turut berjuang dan menjadi pemimpin sampai sekarang di segala
bidang. Mereka ini masih memiliki kepribadian dan mempertahankan nilai-nilai
leluhur ialah rasa kemanusiaan, rasa kekeluargaan, dan gotong royong atau
tolong menolong terutama tetap memelihara hubungan keluarga atau famili.
TOMANURUN PUANG PALIPADA TIBA DI
KAMPUNG KALUPPINI ENREKANG
Sebagaimana
dikatakan di atas bahwa ada beberapa Tomanurun didaerah Malepon Bulan Tanah
Toraja dan Masserempulu tetapi yang akan disampaikan sejarahnya ialah Tomanurun
Guru Lasellang Puang Palipada famili Tomanurun Batara Guru dari Luwu. Tomanurun
Puang Palipada tiba di Palli posi tanah kampung Kaluppini Enrekang bersama
istrinya Embong Bulan dari Malepon Bulan Tanah Toraja. Karena penduduk asli
Kampung Kaluppini dan sekitarnya meminta kepada Tomanurun Puang Palipada
tinggal memimpinnya maka dibangunkan rumah diatas bukit Palli Posi Tanah
dikampung Kaluppini.
Dibekas
tempat rumah Tomanurun Puang Palipada dibukit Palli sampai sekarang diabad XX
Masehi, masih banyak rakyat datang disana melepas nazar dengan membawa kambing,
ayam dan mappeyong disana. Dan memang orang-orang tua kita dahulu kala pada
waktu tertentu mengadakan acara mappeyong disana memperingati Tomanurun Puang
Palipada karena kepemimpinannya yang bersifat kerakyatan, kemanusiaan, dan
adil, terutama menganjurkan rakyat menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mendatangkan bibit padi dan mengajar membuka tanah persawahan.
Selama
Tomanurung Puang Palipada tinggal dikampung Kaluppini Enrekang melahirkan lima
orang anak-anak masing-masing :
1. EMPAKKA MADEABATU PUANG CEMBA KARUENG ENREKANG. Wali pertama didaerah Masserempulu yang pertama-tama menyebar Agama Islam didaerah Masserempulu antara abad XII / XIII M. sekarang kuburannya di Buttu Tangnga Kota Enrekang yang sudah mendapat perawatan dari Pemerintah melalui P dan K. Diantara keturunannya diabad XVII s/d abad XX M. menjadi wali masing-masing :
# Muh. Said Pua Datte Kadhi Enrekang
# Sanggaiya Kadhi Enrekang
# Latanro III Puang Janggo Arung Buttu/Kadhi Enrekang
# Punga Tiwajo Puang Cipong Imam Kabere Enrekang
2. LA KAMUMMU tidak ada kuburannya karena belum masuk Islam menghilang seperti ayahnya Tomanurun Puang Palipada. Dia diberinama La Kamummu karena badannya berwarna Kamummu ( Ungu ), karena itu bendera kerajaan Enrekang berwarna ungu. Turunannya masing masing :
>> Takkebuku Taulan yang menurunkan :
# Arung Maiwa
# Sinapati dan
# We’ Cudai Dg. Risompa Datu Cina Punnae Tanete lampe Pammana Wajo isteri Sawerigading.
>> Puang Palindungan Paladang Maiwa yang menurunkan :
# Tomaraju Arung Buttu Enrekang I Suami Puang Tianglangi Lando Rundun (Manggawari nama Islamnya) Arung Makale Tallu Lembangna keturunananTomanurun PuangTamboro Langi Tomatasak Malepon Bulan Tanah Toraja.
3. WE’ MONNO/SANGNGAN, di Luwu digelar Datu Sengngeng, merupakan Ibu Kandung Sawerigading dan We’ Tanriabeng ibu Simpurusiang datu Luwu ke III.
4. MARUDINDING LABOLONG PUANG TIMBANG RANGA kawin dengan Tomanurun dari Malepon Bulan Bulan Tanah Toraja menurunkan keturunan : Madika Ranga Enrekang.
5. DAJENG WANNA PUTE kawin dengan lelaki dari pegunungan Latimojong yang datang di Kaluppini menuggang kerbau besar dan tidak bisa dilihat kecuali dihamburkan 'wanno'. Mempunyai anak sepuluh orang, 8 delapan orang menjadi orang gaib menempati beberapa gunung di Sulawesi Selatan. Seorang tinggal bersama ibunya di kampung Kaluppini menjadi manusia biasa yang mempunyai keturunan di Kampung Kaluppini dan sekitarnya. Tulang-tulang dan Kepala Dajeng Wanna Pute ada di Gua di kampung Kaluppini.
1. EMPAKKA MADEABATU PUANG CEMBA KARUENG ENREKANG. Wali pertama didaerah Masserempulu yang pertama-tama menyebar Agama Islam didaerah Masserempulu antara abad XII / XIII M. sekarang kuburannya di Buttu Tangnga Kota Enrekang yang sudah mendapat perawatan dari Pemerintah melalui P dan K. Diantara keturunannya diabad XVII s/d abad XX M. menjadi wali masing-masing :
# Muh. Said Pua Datte Kadhi Enrekang
# Sanggaiya Kadhi Enrekang
# Latanro III Puang Janggo Arung Buttu/Kadhi Enrekang
# Punga Tiwajo Puang Cipong Imam Kabere Enrekang
2. LA KAMUMMU tidak ada kuburannya karena belum masuk Islam menghilang seperti ayahnya Tomanurun Puang Palipada. Dia diberinama La Kamummu karena badannya berwarna Kamummu ( Ungu ), karena itu bendera kerajaan Enrekang berwarna ungu. Turunannya masing masing :
>> Takkebuku Taulan yang menurunkan :
# Arung Maiwa
# Sinapati dan
# We’ Cudai Dg. Risompa Datu Cina Punnae Tanete lampe Pammana Wajo isteri Sawerigading.
>> Puang Palindungan Paladang Maiwa yang menurunkan :
# Tomaraju Arung Buttu Enrekang I Suami Puang Tianglangi Lando Rundun (Manggawari nama Islamnya) Arung Makale Tallu Lembangna keturunananTomanurun PuangTamboro Langi Tomatasak Malepon Bulan Tanah Toraja.
3. WE’ MONNO/SANGNGAN, di Luwu digelar Datu Sengngeng, merupakan Ibu Kandung Sawerigading dan We’ Tanriabeng ibu Simpurusiang datu Luwu ke III.
4. MARUDINDING LABOLONG PUANG TIMBANG RANGA kawin dengan Tomanurun dari Malepon Bulan Bulan Tanah Toraja menurunkan keturunan : Madika Ranga Enrekang.
5. DAJENG WANNA PUTE kawin dengan lelaki dari pegunungan Latimojong yang datang di Kaluppini menuggang kerbau besar dan tidak bisa dilihat kecuali dihamburkan 'wanno'. Mempunyai anak sepuluh orang, 8 delapan orang menjadi orang gaib menempati beberapa gunung di Sulawesi Selatan. Seorang tinggal bersama ibunya di kampung Kaluppini menjadi manusia biasa yang mempunyai keturunan di Kampung Kaluppini dan sekitarnya. Tulang-tulang dan Kepala Dajeng Wanna Pute ada di Gua di kampung Kaluppini.
Cahaya Baru To Manurung
KELURAHAN
Empoang Selatan, kecamatan Binamu, kabupaten Jeneponto, dihuni oleh sekitar
4317 jiwa penduduk. Kelurahan ini berada di wilayah pesisir pantai selatan
Jeneponto. Berdasarkan hasil Pemetaan Swadaya (PS) yang dilakukan Tim PS dan
relawan, diperoleh data, terdapat kurang lebih 342 KK miskin, berada di wilayah
ini.
Kehadiran
P2KP melalui proses dan siklusnya, sangat dinanti warga akan membawa harapan
baru. Harapan baru warga itu tak lain adalah penantian mereka akan munculnya
sosok ‘To Manurung’ atau orang suci, yang akan membawah
nilai-nilai dan menjunjung tinggi hakekat kemanusiaan, salah satunya untuk
mengurus orang miskin, yang ujungnya dinanti akan membawa suatu kehidupan yang
lebih baik bagi warga.
Mitos tentang
To Manurung ini, dipercaya tidaklah datang dari langit ke tujuh, planet lain
ataupun wilayah lain, namun akan muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat
itu sendiri. Kehadiran To Manurung, bisa diidentikkan dengan anggota BKM yang
akan dipilih melalui proses pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
To
Manurung, akan dipilih karena masyarakat melihat sosok orang tersebut dari
pergaulannya sehari-harinya. Sosok To Manurung sendiri, akan cenderung memiliki
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, seperti, nilai tentang kejujuran,
kepedulian dan kerelawan terhadap orang lain, tanpa membedakan status sosial
dan ekonomi.
Pemilihan
To Manurung, diikuti oleh semua warga, tidak peduli apakah remaja, orang tua bahkan nenek atau kakek
sekalipun, yang penting mereka mempunyai hak pilih. Sebagai contoh, Ripo,
seorang janda tua berusia 80 tahun pun, sangat bersemangat menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan BKM di RK 1, lingkungan Bontang, kelurahan Empoang
Selatan.
Demikian
pula, bukan hanya laki-laki yang punya hak untuk memilih, tapi juga perempuan
sama-sama memiliki hak yang setara. Yang pasti, To Manurung tersebut akan
dipilih oleh mereka yang sudah dianggap dewasa, tanpa kampanye serta tanpa
iming-iming sesuatu.
Kemudian,
To Manurung akan dipilih karena sifat-sifat luhur yang dimilikinya serta telah
diperlihatkan secara riil membantu masyarakat selama ini. Keberadaan To
Manurung tersebut, saat ini dihimpun dalam suatu wadah/organisasi yang oleh
P2KP dinamakan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
Melalui
kepercayaan akan datangnya orang suci atau To Manurung yang di wilayah ini
diindikasikan dengan keberadaan BKM P2KP, masyarakat kelurahan Empoang Selatan
semakin yakin, di masa yang akan datang, kehidupan mereka akan menjadi semakin
baik. Semoga.
Daftar Pustaka
Andi Syaiful Sinrang, 1980, Mengenal Mandar Sekilas Lintas, Penerbit Tipalayo Polemaju.
Drs. M. T. Azis Syah, 1993, Lontarak Pattidioloang di Mandar Jilid I, Taruna Remaja, Ujung
Pandang.
Muhammad Ridwan Alimuddin, http://www.radar-sulbar.com/feature/lombeng-susu-dan-banua-batang
/, diakses pada tanggal 3 Juli 2012.
Tika, Zainuddin. SH. Dkk. 2002. Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan. Gowa. Buana.
Syarif Longi. 2001. Kerajaan
Agangnionjo. Barru. Proyek Pangadaan Dinas P & K Kab. Barru.
Basrah Gising, Basra, 2002, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar : sama Jaya Makassar.
Makarausu Amansyah, Pengaruh
Islam Dalam Adat Istiadat Bugis Makassar, Dalam Bingkisan (thn II, no.5).
Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Serajah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, Pusat
Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Universitas
Hasanuddin.
Syarief Longi (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete), Prouek Pengadaan Sarana Sekplah
Dasar Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001.
Edward L. Poelinggomang, tahun Anggaran 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hingga
Kabupaten Barru, Pemerintah Kabupaten Barru.
Sartono Kartodirjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium Sampai
Imperium, Jilid I, Gramedia, Jakarta.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) : Jakarta, Arsip
Makassar.
Bahan Kuliah, Sejarah Lokal oleh Pak Suriadi Mappangara,
M.Hum.
Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang : Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
G.K. Nieman, 1883, Geschiedenis
Van Tanete, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Majalah Makassar Terkini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar