Sureq Galigo
Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik
Indonesia) yang ditulis di antara
abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini
terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai
almanak praktis sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar
melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan
tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal
diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat
serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada
versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah
diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi
salah satu karya sastra terbesar.
Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan
ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis
dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh
dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik
ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
Sejauh ini Galigo hanya dapat
dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi
lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di
perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde
Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka
surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat
yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan
pribadi pemilik lain.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak
internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak
tahun 2004.
Isi hikayat La Galigo
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu
musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari
alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La
Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La
Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru
ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja
di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng
yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar
yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang
anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan
bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu
bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal
itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam
perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah
Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri
Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa
dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa
Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan
melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari
saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran
tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang
yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La
Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti
ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan
perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari
pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang
terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir
pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika
itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal
besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara.
Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan.
Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi
sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing.
Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah
membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah
selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui
jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh
yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan
sebagai model mereka.
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah
diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah
merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang
garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar
dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta
pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak
Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah
bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun
juga, Bunga Manila masih menaruh dendam
dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti
Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat
mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan
Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya
adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo
meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar Wakaka, dimana
mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain
yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah
yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba
dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah
keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna
yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan
Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama
berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan
nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan
Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe
adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo
Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno
Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat
di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya
ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia
Bonga).
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait
rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari
kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang
telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa
armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo.
Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu
yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju
untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade
memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan
kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip
dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang
pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang
gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi
gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan
Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah
Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama
sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada
tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah
dengan menandatangani Perjanjian
Bungaya. Dalam perjuangan
ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora
dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan
banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681,
sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad
ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716,
adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga
diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting
dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan
Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan
peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah
dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang
Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi
raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo.
Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit
seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke',
menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat
dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan
adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
La Galigo
dalam seni pentas
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh
Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah
dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para
aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan
gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa
Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan
ekstensif efek cahaya untuk karakteristik
pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke
dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga
dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. Para pelaku produksi
pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari
komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
- The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its
diffusion oleh Andi Zainal Abidin
- "La Galigo, Bukan Epos Biasa" Blog Bolehtau.com
Rujukan
- Andi Zainal Abidin and C. C. Macknight (1974). "The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and Its
Diffusion". Indonesia
17 (April): 161–169. doi:10.2307/3350778. http://www.jstor.org/pss/3350778.
Referensi
1.
^ a b c d e Wayne
Arnold. "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth ", The New York Times, 7 April 2004. Diakses
pada 4 September 2008.
2.
^ a b Helen
Shaw. "Micromanaging Indonesia ", (The New
York Sun), 15 Juli 2005. Diakses pada 19 Agustus 2008.
3.
^ a b c d Edward
Rothstein. "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive ", The New York Times, 15 Juli 2005. Diakses
pada 19 Agustus 2008.
4.
^ a b Carla
Bianpoen. "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo' ", (The Jakarta Post), 4 April 2004. Diakses pada
26 September 2008.
Sejarah
Orang Bugis
Orang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat
menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka
mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh
India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.
Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah
menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari
Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa
Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat
identitas Keislamannya.
Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).
Bagi suku-suku lain disekitarnya orang bugis
dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi
kehormatan. Bila perlu demi kehormatan mereka orang bugis bersedia melakukan
tindak kekerasan walaupun nyawa taruhannya. Namun demikian dibalik sifat keras
tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai
orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Orang eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah bugis adalah orang Potugis. Para pedagang eropa itu mula-mula mendarat dipesisir barat sulawesi selatan pada tahun 1530. akan tetapi pedangan portugis yang berpangkalan dimalaka baru menjalin hubungan kerjasama dalam bidang perdagangan secara teratur pada tahun 1559
ASAL USUL ORANG BUGIS
Asal usul orang bugis hingga kini masih tidak jelas
dan tidak pasti berbeda dengan wilayah Indonesia. Bagian barat Sulawesi selatan
tidak memiliki monument (hindu atau budha) atau prasasti baik itu dari batu
maupun dari logam, yang memungkinkan dibuatnya suatu kerangka acuan yang cukup
memadai untuk menelusuri sejarah orang bugis Sejak abad sebelum masehi hingga
kemasa ketika sumber-sumber tertulis barat cukup banyak tersedia. Sumber
tertulis setempat yang dapat diandalkan hanya berisi informasi abad ke 15 dan
sesudahnya
KRONIK BUGIS
Hampir semua kerajaan bugis dan seluruh daerah
bawahannya hingga ketika paling bawah memiliki kronik sendiri. Mulai dari
kerajaan paling besar dan berkuasa sampai dengan kerajaan paling terkecil akan
tetap hanya sedikit dari kronik yang memandang seluruh wilayah di sekitarnya
sebagai suatu kesatuan. Naskah itu yang dibuat baik orang makassar maupun orang
bugis yang disebut lontara oleh orang bugis berisi catatan rincian mengenai
silsilah keluarga bangsawan, wilayah kerajaan, catatan harian, serta berbagai
macam informasi lain seperti daftar kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah bawahan,
naskah perjanjian dan jalinan kerjasama antar kerjaan dan semuanya disimpan
dalam istana atau rumah para bangsawan
Lontara
Bugis
SIKLUS LA GALIGO
Naskah La Galigo bercerita tentang ratusan
keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama 6 (enam) generasi turun
temurun, Pada berbagai kerajaan di sulawesi selatan dan daerah pulau-pulau
disekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa bugis kuno dengan
gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke 20 Masehi naskah la galigo
secara luas diyakini oleh masyarakat bugis sebagai suatu alkitab yang sacral
dan tidak boleh dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu.
Hingga kini versi lengkap siklus la galigo belum ditemukan dari naskah-naskah yang masih ada. Banyak diantaranya hanya berisi penggalan-penggalan cerita yang dimulai dan diakhiri dengan tiba-tiba atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dari episode yang kadang-kadang tidak bersambung. Namun demikian banyak sastrawan bugis dan orang awam didaerah-daerah tertentu yang mengetahui sebagian besar dalam cerita siklus tersebut mereka memperolehnya dari tradisi lisan.
Siklus la galigo telah melalui proses penyusunan secara bertahap sebelum pada akhirnya menjadi sebuah karya besar. Mula-mula hanya garis besar latar dan jalan cerita saja yang diciptakan, termaksud silsilah para tokoh utamanya.
Untuk mengkaji sastra bugis itu para ilmuan beruntung dapat mengandalkan hasil jerih payah ilmuan asal belanda R.A. Kern yang menerbitkan catalog lengkap mengenai seluruh naskah la galigo yang kini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan eropa dan perpustakaan Matthes di makassar. Dari 113 Naskah yang ada yang terdiri atas 31.500 Halaman R.A Kern Menyaring dan membuat ringkasan setebal 1356 Halaman yang merincikan Ratusan Tokoh yang terdapat dalam seluruh cerita.
La Galigo merupakan epos terbesar didunia dan epos tersebut lebih panjangan dari Epos Mahabharata. Naskah la galigo terpanjang yaitu dikarang pada pertengahan abad ke 19 atas tanggung jawab seorang perempuan raja bugis yang bernama I Colli Puji’e Arung Tanete naskah setebal 2851 Halaman polio tersebut diperkirakan mengandung sepertiga dari pokok cerita seluruhnya.
HIPOTESIS REKONSTRUKSI
PRASEJARAH BUGIS
Sejak awal mungkin 50.000 tahun yang lalu sulawesi
selatan sebagaimana daerah lain dipulau asia tenggara telah dihuni manusia yang
sezaman dengan manusia wajak di jawa mereka mungkin tidak terlalu beda dengan
penghuni Australia pada masa itu di asia tenggara, mereka mengalami proses
penghalusan bentuk wajah dan tengkorak kepala meski memiliki Fenotipe
Australoid.
Pada permulaan abad ke 20, penjelajah asal swiss yakni Paul Sarasin dan sepupuhnya Fritz Sarasin mengemukakan sebuah hipotesis bahwa to’ale (Manusia Penhuni hutan) sekelompok kecil manusia yang hidup diberbagai gua dipegunungan Lamocong (Bone bagian selatan) adalah keturunan langsung dari manusia penghuni gua pra sejarah dan ada hubungannya dengan manusia Veddah di srilangka
CARA HIDUP DAN KEBUDAYAAN
AWAL BUGIS
Kehidupan sehari-hari orang bugis pada hamper seluruh
millennium pertama masehi mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan cara hidup
orang toraja pada permulaan abad ke 20. mereka hidup bertebaran dalam berbagai
kelompok di sepanjang tepi sungai, dipinggirin danau, di pinggiran pantai dan
tinggal dalam rumah-rumah panggung. Sebagai pelengkap beras dan tumbuhan lading
lain. Merekapun menangkap ikan dan mengumpulkan kerang. Orang bugis dikenal
sebagai pelauk ulung dengan menggunakan Phinisi mereka mengarungi samudra
dengan gagah beraninya disamping itu pula orang bugis sangat pandai dalam
bertani dan berladang. Bertenun kain adalah salah satu keterampilan nenek
moyang orang bugis.
Orang bugis pada masa awal itu kemungkinan besar juga mengayau kepala untuk dipersembahkan acara ritual pertanian dan kesuburan tanah. Pada umumnya orang bugis mengubur mayat-mayat yang sudah meninggal, meski ada pula mayat yang di benamkan (danau atau laut) atau disimpan di pepohonan. Situs-situs megalitikum yang pernah nenek moyang mereka mungkin merupakan saksi kegiatan penguburan ganda atau penguburan sekunder. Kepercayaan mereka masih berupa penyembahan arwah leluhur. Terhadap para arwah itu sesajen-sesajen dipersembahkan lewat perantara dukun.
BUDAYA BENDAWI
Pakaian
Pakaian
Gambaran tentang tokoh-tokoh dalam La galigo dapat diperoleh
dengan melihat pakaian yang dikenakan Pengantin Bangsawan tinggi masa itu, yang
selalu meniru-niru adapt kebiasaan masa lalu pria dan wanita mengenakan sarung
hingga mata kaki (sampu’ ,yang dinamakan unrai bagi perempuan), menyerupai awi’
yang kini digunakan pengantin laki-laki. Pada perempuan sarung tersebut dililit
dengan sebuah ikat pinggan logam. Sedangkan pada pria, sarung di lilit dengan
sabuk tenunan dan diselipkan sebuah senjata tajam atau badik (gajang)
Rumah Adat
Baik para bangsawan dan rakyat biasa tinggal
dirumah panggung, namun istana (langkana atau sao kuta bagi dewa-dewa) sama
dengan rumah biasa, namun ukuranya lebih besar dengan panjang sekurang-kurang
nya 12 Tiang dan lebar 9 Tiang. Rumah tersebut memiliki tanda khusus untuk menunjukkan
derajat penghuninya.
Tarian Dan Hiburan Rakyat
Tarian yang sering digunakan untuk menjamu tamu
kadang-kadang menarikan tari “maluku” (sere maloku) . namun tidak disebutkan
adanya pembacaan naskah secara berirama (ma’sure’selleng) yang sangat popular
dilakukan pada acara-acara seperti itu di lingkungan bangsawan hingga abad ke
20.
Hiburan utama adalah sabung ayam atau adu
perkelahian ayam (ma’saung) hamper disetiap istana dibawah pohon cempa (ri awa
cempa) berdiri gelanggang atau arena sabung ayam ber atap tapi tidak
berdinding.
Hiburan rakyat lainnya adalah “raga” sebuah permainan kaum pria dalam suatu lingkaran yang memainkan bola rotan anyaman yang menyerupai bola takraw. Bola tersebut tidak dibolehkan menyentuh tanah atau tersentuh tangan. Pemenangnya adalah pemain yang paling lama memainkan bola dengan kaki atau badannya (selain tangan) dan dapat menendang bolanya paling tinggi ke udarah.
PERANG
Boleh dikatankan perang dalam taraf tertentu merupakan hiburan bagi kaum lelaki. Juga merupakan medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to warani). Alat yang digunakan dalam peperangan adalah Sumpit (seppu’) dengan anak panah beracun, Tombak (bessi), pedang pendek (alameng), senjata penikam atau badik (gajang)
Boleh dikatankan perang dalam taraf tertentu merupakan hiburan bagi kaum lelaki. Juga merupakan medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to warani). Alat yang digunakan dalam peperangan adalah Sumpit (seppu’) dengan anak panah beracun, Tombak (bessi), pedang pendek (alameng), senjata penikam atau badik (gajang)
Perlengkapan
Perang Orang Bugis
MASYARAKAT LA GALIGO
Masyarakat yang digambarkan dalam epos La Galigo
tampak sangat hirarkis. Datu, sang penguasa orang yang paling terkemuka dalam
kerajaan. Dialah yang menjaga keseimbangan lingkungan , baik itu lingkungan
alam maupun lingkungan social, dan merupakan pewaris keturunan dewa dimuka
bumi.
Sebenarnya bukan hanya datu tetapi seluruh bangsawan dalam tingkatan tertentu ikut memegang status keramat, karena mereka semua dianggap sebagai keturunan dewata. Mereka semua dipercaya memiliki darah putih (dara takku). Dalam dunia bugis kuno kalangan biasa yang berdarah merah dipandang memiliki perbedaan Fundamental dari bangsawan berdarah putih yang membawa esensi kedewataan kemuka bumi.
Referensi Buku : Manusia Bugis
Catatan : Hanya satu yang
tidak terdapat dalam manusia bugis yaitu “Orang Bugis adalah pelaut Ulung” yang
dimana pada buku manusia bugis membantah bahwa itu adalah kepercayaan yang
salah buat orang bugis. Tapi saya pribadi yang menulis Bugis-Ku akan tetap
mempercayai bahwa Nenek Monyang Orang Bugis adalah Pelaut Ulung.
Epos I La
Galigo : Dari Langit, Kembali ke Langit
Seorang
lelaki berusia senja, terkulai lemas dalam satu kamar tidur berukuran 3x3
meter. Ia sudah bersiap pasrah untuk menyambut kematiannya. Tanda-tanda itu
sudah bisa diduganya. Dari kedatangan sosok mahluk gaib berpakaian hitam dalam
mimpinya. Sosok itu membawa ke alam bawah sadarnya, ke suatu tempat yang sudah
asing baginya.
“Semalam ada sosok
hitam datang. Ia datang tersenyum dan mengajak ke suatu tempat yang indah,”
ujar pria tua itu. Ia terdiam sambil mengatur kembali nafasnya.
Kemudian bercerita
lagi. “Tempat itu begitu indah. Ada air terjun yang airnya jernih. Bukit-bukit
dan rumput yang hijau. Dan sungai yang mengalir dengan airnya yang bersih.”
Sosok tua ini, aku
mengenalnya bernama La Nibe. Ia orang asli Ussu, Malili, Luwu Timur,
Sulawesi Selatan. Seorang anak keturunan Cerekang. Tempat yang menjadi asal
muasal kebesaran masyarakat Bugis dengan tokoh besar Sawerigading yang termuat
dalam karya sastra I La Galigo.
Ia tinggal di
Jakarta. Seorang perantauan pasca pembersihan gerakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar. Masa perjuangan
itu, ia dikenal sebagai komandan batalyon wilayah Tenggara. Tugasnya,
membersihkan rintangan jalur yang akan dilewati Kahar Muzakkar.
“Tentara ditipu oleh
Kahar Muzakkar. Kahar membawa-bawa nama Islam untuk kepentingannya. Padahal,
tujuan utama dari tentara di Sulawesi Selatan adalah meminta pengakuan dan
kedaulatan dari pemerintahan Soekarno,” kenangnya
Kisah soal Batara
Guru, Sawerigading, maupun karya I La Galigo, La Nibe memang tak terlalu banyak
tahu dari referensi atau melihat langsung karya sastra apik itu, Namun, ia
lebih mengenal legenda itu dari teturunannya langsung. Tentang
petunjuk-petunjuk, tradisi, dan segala pola laku yang harus dilakukan oleh para
teturunannya. Bahkan mitos-mitos yang kerap secara tidak sadar terjadi pada
dirinya.
Dan mau tidak mau, La
Nibe tidak bisa menolak petuah yang sudah berlangsung turun menurun. Baginya,
petuah itu merupakan bagian garis hidupnya. Sudah menjadi harga mati yang sulit
ditawar lagi. “Sudah ada petunjuk sendiri petuah itu datang. Dan tidak bisa ditolak
lagi. Karena datang tanpa disadari, namun dilanggar baru dapat dirasakan,”
ujarnya.
Tantangan itu seperti
diharamkan memakan pisang manurung atau pisang gepok. Pisang jenis ini oleh
para teturunan Sawerigading, ditasbihkan sebagai tubuhnya sendiri. Jika
teturunannya yang “ditunjuk” memakannya, sakit akan mendera pada dirinya.
“Ibarat makan diri sendiri,” tuturnya.
“Makan satu pisang,
maka sakit yang harus ditanggung bisa tiga hari lamanya. Jika sampai makan
lebih dari satu pisang, muntah darah akan dialaminya. Dan itulah yang kerap
terjadi. Makanya, akhirnya petuah itu disampaikan kepada anak-anaknya untuk
seupaya mungkin tidak memakan pisang gepok,” ujar La Nibe.
Riwayat “haram”
pisang gepok, punya keterkaitan dengan lahirnya Sawerigading di bumi. Pada epos
I La Galigo, Sawerigading dilahirkan terbungkus bambu betung atau bambu kuning.
Dalam kisah-kisah terjemahan saat ini, tidak ada yang menyinggung sama sekali
soal riwayat pisang gepok yang menjadi pembungkus untuk menghangati
Sawerigading saat dilahirkan.
Saking hangatnya daun
pisang gepok, akhirnya menyatu dalam daging tubuh Sawerigading. Ketika buah
pisangnya akan dijadikan makanan, maka oleh Batara Guru tidak diperbolehkan.
Maka keluarlah petuah, bagi teturunannya tidak diperbolehkan makan pisang itu.
Entah buah, daunnya atau seluruh bagian dari pisang itu.
“Agar tidak dilanggar
oleh teturunannya, maka Cerekang yang tadinya ditumbuhi pohon pisang gepok,
sampai sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi. Pernah ada yang mencoba
menanamnya, tapi selalu tidak berbuah dan mati,” ujar La Nibe.
Dalam hal perkawinan.
Nikah antara saudara sepupu, tidak menjadi hal yang dipertantangkan. Dari
pandangan medis, nikah yang dilakukan antar gen yang masih satu darah cenderung
akan melahirkan anak dengan mental kurang normal. Bagi keturunan Sawerigading,
hal itu terbantahkan.
Dalam legenda
Sawerigading, ia menikah dengan sepupu satu kalinya, We Cudai. Ia anak dari
Remmang Li Langi, adik kandung La Toge’Langi (Batara Lattuq) ayah Sawerigading.
Kenyataannya, hingga
saat ini perkawinan sepupu tetap dianggap sah-sah saja dan tidak mengganggu
keturunannya. Anak-anaknya terlahir normal dan tidak ada gangguan sama sekali
dari kejiwaannya. Yang sangat diharamkan adalah perkawinan saudara satu
kandung.
Mengenai kepercayaan,
Orang ‘Ussu’ atau teturunan Sawerigading tidak mengenal secara khusus
kepercayaannya. Mereka mengakui Islam sebagai agama bumi, tapi tidak melakukan
ajarannya. Menyakini, agama bumi adalah yang sebatas identitas duniawi. Tapi
dianggap tidak bisa menjamin keberadaannya, setelah priode kehancuran bumi.
Namun berdasarkan
referensi, sejak Islam belum banyak dianut di daratan Sulawesi, hampir semua
masyarakat memunyai kepercayaan yang disebut To Lotang. Penganutnya
memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut "Dewata Seuae".
Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan periode kedua.
Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan pengikutnya.
Beberapa masyarakat
di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, kepercayaan To Lotang hingga saat ini
masih terus dianutnya. Kepercayaan itu, kitab sucinya adalah La Galigo dan
Sawerigading dianggap Nabi. Namun setelah masuknya agama Islam, akhirnya
terbagi dua aliran. To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng.
Aliran To Lotang
To Wani pada dasarnya, melaksanakan agama leluhur secara murni. Sedangkan To
Lotang To Benteng menjadikan agama Islam sebatas perkawinan dan kematian,
namun sehari-harinya melaksanakan ajaran To Lotang.
Pada aliran To
Lotang To Wani, ajarannya tidak mengikuti Sawerigading, namun mengikuti
ajaran La Pannaungi. Perkawinan dan penyelenggaraan kematian, dilaksanakan oleh
adatnya sendiri.
Sedangkan To
Lotang To Benteng, mengakui sebagai penganut langsung Sawerigading. Tapi
mereka mengakui keberadaan agama Islam. Acara perkawinan dan kematiannya
menerapkan ajaran Islam. Dan aliran ini memercayai adanya perjalanan langit
tujuh dan bumi 7 lapis.
“Saya tidak tahu
aliran atau agama itu. To Lotang atau jenis lainnya,” kata La Nibe. “Islam
hanya bagian dari kepercayaan masing-masing dan memang diakui. Namun dalam
kepercayaan keturunan Cerekang. Tidak harus menjalani syariat Islam. Seperti
sembahyang.”
Kepercayaan bagi
keturunan Sawerigading adalah, adanya tempat yang sudah disiapkan oleh raja
langit bagi para teturunannya yang berada di bumi. Ketika terjadinya priode
kehancuran manusia, maka mereka percaya ada tempat sendiri yang tidak disatukan
oleh manusia bumi lainnya.
Keyakinan dipegang
teguh hingga saat ini, meyakini bahwa mereka adalah keturunan La Patiganna atau La
Toge’Langi dari Kerajaan Langit dan Guru Ri Selleng dari Kerajaan Gaib.
Hingga saat ini,
mereka masih meyakinin bahwa kematiannya akan disambut oleh para leluhurnya di
‘surga’ langit. Sebelum datangnya kematiannya, mereka akan diperlihatkan satu
tempat yang indah oleh sosok manusia gaib berjubah hitam agar bisa pasrah
menyambut kematiannya. Sosok berpakaian berjubah hitam itu, dianggap sebagai
utusan kerajaan gaib Guru Ri Selleng yang bertugas membuka jalan dan membukakan
pintu langit bagi para teturunan Sawerigading.
“Sosok itu sering
datang. Bahkan hampir sering memperlihatkan dirinya dengan jelas. Namun tidak
pernah bisa mengingat wajahnya,” ujar La Nibe.
Sebulan setelah sosok
manusia gaib berjubah hitam itu datang, nafas hidup La Nibe mulai kembang
kempis. Ia tahu, hidupnya di bumi akan segera berakhir dan sudah harus bersiap
diri untuk menuju kehidupan langit. Diyakini akan bertemu dengan teturunan
lainnya. Dan ia menghembuskan nafasnya. Mati.
II
Epos I La
Galigo, tak lepas dari nama sosok Sawerigading yang menjadi tokoh utama dalam
legenda itu. Kisah ini berawal ketika kerajaan di langit mengetahui adanya
wilayah bumi yang masih kosong. Raja La Patiganna mengadakan musyawarah dengan
keluarga dari kerajaan langit lainnya, Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Dalam
pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar adanya utusan dari
kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi. Akhirnya, terpilihlah anak La
Patiganna bernama La Toge’Langi yang dinikahkan dengan sepupunya sendiri, We
Nyili’Timo. We Nyili’Timo adalah putri Guru Ri Selleng dari kerajaan gaib.
La
Toge’Langi dinobatkan menjadi Raja Alekawa (Bumi) dengan memakai gelar Batara
Guru. Untuk mendapatkan gelar itu, Batara Guru harus menjalani masa ujian
selama 40 hari 40 malam. Usai berakhir, akhirnya pasangan itu diturunkan di
Ussu. Satu wilayah di Sungai Cerekang, Kabupaten Malili, Luwu Timur, Sulawesi
Selatan.
Dari perkawinan
Batara Guru dengan We Nyili’Timo, lahirlah seorang anak bernama La Tiuleng yang
bergelar Batara Lattuq yang sekaligus menjadi pangeran kerajaan Luwu. Setelah
dewasa, Batara Lattuq dinikahkan oleh anak La Urumpassi, We Datu Sengeng. Usai
pernikahan, akhirnya Batara Guru dan istrinya kembali ke langit. Maka, tahta
kerajaan diserahkan kepada Batara Lattuq.
Dari perkawinan
Batara Lattuq dengan We Datu Sengeng, maka lahirlah anak kembar emas. Yang
laki-laki diberi nama Sawerigading, dan yang perempuan bernama We Tenriabeng.
Saat proses kehamilan Sawerigading, ia ditempatkan dalam satu batang bambu
betung. Dan nama yang disematkan memunyai makna Sawe berarti menetas dan
Ri Gading berarti di atas bambu (bentung).
Namun sebelum anak
kembar emas itu lahir, Batara Guru sudah berpesan kepada Batara Lattuq, agar
kedua anak emasnya dipisahkan. Karena, Batara Guru melihat tanda-tanda, jika
dewasa nanti Sawerigading akan terpicut dan jatuh hati pada adik kembar
perempuannya itu.
Jika perkawinan
antara Sawerigading dengan We Tenriabeng terjadi, maka sudah dianggap melanggar
ketentuan alam bumi dan langit. Maka, akan terjadi bencana terhadap negeri,
rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri akan mengalami bencana yang luar
biasa.
Ternyata tanda-tanda
yang dikhawatirkan Batara Guru atas Sawerigading terhadap adik kembar emasnya,
terjadi. Ketika diam-diam melihat sosok We Tenriabeng, Sawerigading langsung
terpicut dan jatuh hati, bahkan ingin menikahinya. Atas gelagat itu, rencana
itu mendapat tentangan dari rakyat.
Karena tidak ingin
melanggar dan terjadi bencana bagi kehidupan di bumi, We Tenriabeng membujuk
Sawerigading untuk tidak melanggar pantangan yang sudah diultimatum oleh
ayahnya, Batara Guru.
We Tenriabeng kepada
Sawerigading mengatakan, masih ada sosok perempuan yang wajah dan perawakannya
sama persis dengan adik kembar emasnya itu. Namanya We Cudai yang masih
berdarah sepupu. Adalah putri dari La Sattumpugi dari Kerajaan Cina yang
sekarang berada di daerah Pammana, Wajo, Sulawesi Selatan. La Sattumpugi adalah
adik dari Batara Lattuq.
Keberangkatan
Sawerigading penuh dengan rasa kecewa dan ia bersumpah tidak akan menginjakkan
kakinya di tanah Luwu. Ia akhirnya berangkat ke Kerajaan Cina. Dan bersamaan
dengan itu, We Tenriabeng langsung naik ke langit dan menikah dengan Remmang Ri
Langi.
Di Kerajaan Cina,
Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Ia harus bertarung dengan
tunangan We Cudai, Settiaponga. Sawerigading menaklukkannya dalam
pertempurannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Kerajaan Cina.
Akhirnya,
Sawerigading menikahi We Cudai. Dari perkawinannya, melahirkan anak pria
bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah, yang akhirnya
menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dan dari masa kejayaan I La Galigo, ia membuat
karya sastra monumentar tentang silsilah keluarganya sendiri. Kisah yang
sebenarnya biasa saja, namun masa yang membedakannya.
I La Galigo
menuliskannya dalam lembaran lontara. Ia menceritakan bagaimana asal muasal
turunannya ada di bumi dari langit. Dalam epos itu juga, I La Galigo
menceritakan ayahnya, Sawerigading yang memunyai nama besar dalam kehidupan
masa masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Dan akhirnya, menjadi legenda
tersendiri bagi masyarakat Cerekang dan sekitarnya, serta didaku menjadi sosok
besar kehidupan bumi.
III
Kisah-kisah
Sawerigading dengan epos kebesaran cerita I La Galigo, sudah kian santer
seantero negeri ini dan dunia. Seakan menjadi catatan maha penting tentang
keberadaban masyarakat Suku Bugis, Sulawesi Selatan. Bahkan menjadi helaian
untuk lembaran terbesar sejarah manusia bumi.
Naskah Galigo
diperkirakan lebih panjang satu setengah kali dari hikayat India, Mahabarata.
Jumlah halaman naskah ini diperkirakan mencapai 6.000 lembar. Setiap halaman folio
mengandung sekitar 50 baris, dengan suku kata antara 10 dan 15. Artinya, bisa
diperkirakan, seluruh cerita / La Galigo panjangnya sekitar 300 ribu baris.
Naskah Galigo yang
mencapai 300 ribu baris, aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut
voor Taal, Leiden, Belanda.Bandingkan dengan naskah Mahabarata yang hanya
sekitar 160 ribu-200 ribu baris.
Rajutan cerita I La
Galigo tidak serta merta hanya menjadi legenda atau mitos semata, jejak-jejak
itu hingga kini masih terus dipelihara dan mendarahdaging bagi para
teturunannya. Sehingga tidak hanya sekedar satu alur tentang kebesaran,
melainkan rangkaian jalan hidup yang akhirnya mau tidak mau harus dilakukan
oleh para keturunannya hingga saat ini.
Berawal dari Sungai
Cerekang. Dalam legenda I La Galigo, inilah sungai yang menjadi labuhan
Sawerigading. Adalah satu perkampungan yang dikenal sebagai suku ‘Ussu’ di
Kampung Cerekang. Berada di perbatasan antara Wotu (Luwu Utara) dan Malili
(Luwu Timur).
Saya sempat
mendatangi kembali sungai legendaris itu. Tak luas-luas banget, sekira lebar
lima meter. Sungai itu, mengalir hingga ke laut lepas. Beberapa rumah penduduk
asli Cerekang, masih terus bertahan. Pemukiman itu, kebanyakan berada di
pinggiran jalan poros trans ujung tenggara Sulawesi Selatan. Masih ada
perahu-perahu kecil (ketinting) yang bersandar.
Namun, tak ada lagi
pemukiman di bagian sungai paling dalam ke arah perbukitan. Semakin ke dalam
bagian sungai, kian menyempit. Bahkan hanya terlihat semak belukar dan hutan
belantara. Suasana benar-benar senyap. Kerap merinding. Seram.
Cerita yang
berkembang di masyarakat itu, sungai itu sekarang di huni oleh seekor buaya
putih yang menjadi penjaga sungai Cerekang. Buaya yang dapat berjalan layaknya
manusia dan dapat mengenal darah teturunan Cerekang atau tidak. Konon, wilayah
yang dijaganya adalah gerbang kerajaan Batara Guru yang merupakan ayah kandung
Sawerigading. Tokoh utama legenda cerita I La Galigo.
Bagi teturunan
Sawerigading, mitos dan fakta hanya beda-beda tipis. Apalagi, bagi keturunan
yang mendapatkan petuah atau amanah atas kesaktian dan kebesaran Kerajaan
Langit dan Kerajaan Gaib, maka akan dibekali kekuatan supranatural yang tidak
dimiliki oleh keturunan lainnya.
Malili merupakan
wilayah yang dikeliling perbukitan dan Sungai Malili hingga ke lautan.
Masyarakat setempat sangat percaya, keberadaan manusia pertama bumi,
Sawerigading, tidak hanya sekedar legenda. Keyakinannya berdasarkan benda-benda
alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading.
Saya sempat
mendatangi beberapa tempat yang menjadi hikayat rakyat Sulawesi Selatan. Tempat
yang berkaitan dengan Sawerigading adalah Pulau Bulupoloe. Dengan menggunakan
ketinting (perahu kayu) dari Pelabuhan Belantang, Malili, ibukota Luwu Timur,
menempuh waktu dua jam mengarah ke laut lepas.
Hikayat Pulau
Bulupoloe, tempat itu adalah bekas timpaan pohon Welenreng yang rebah untuk
dijadikan perahu Sawerigading saat akan berangkat ke Kerajaan Cina di tanah
Wajo. Tujuannya, menjumpai sepupu yang akhirnya dijadikan istrinya, We Cudai.
Rebahan pohon itulah, yang membentuk pulau.
Kisah La Galigo tidak
hanya sekedar dianggap karya sastra belaka, namun juga menyebar dalam bentuk
lisan ke berbagai daerah. Tak hanya dikenal masalah Sulawesi semata, tapi
menyebar hingga Kalimantan dan Semenanjung Malaysia.
Menurut Nurhayati
Rahman dalam disertasinya Sompeqna Sawerigading Lao Ri Tana Cina: Analisis
Filologi dan Semiotik I La Galigo, karya La Galigo telah menempatkan dirnya
menjadi karya sastra yang mampu merefleksikan dirinya dan menghegemoni dalam
masyarakat.
Sebagai karya sastra,
La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan
etikanya. Keindahannya La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra,
metrum serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi,
norma-norma, serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya.
Peristiwa dan tokoh
dalam La Galigo, bagaikan satu pertunjukan menyangkut suasana kehidupan manusia
Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman. Sehingga,
karya itu memiliki estetika yang tinggi dan punya manfaat sebagai sarana kebudayaan
untuk kehidupan kemanusiaan.
Dari kenyataan itu,
nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo, masih tertanam dalam diri
masyarakat dan budaya manusia Bugis. Tidak goyah walau adanya desakan yang kuat
oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi. Sehingga, kehilangan jejak
sejarahnya. Kini, hanya jejak keturunan individu yang masih bisa merangkaikan
kebesaran karya sastra I La Galigo.
Syair indah yang
dilontarkan oleh Batara Lattuq (Yakni Ayahanda Sawerigading)
kepada We Datu Sengngeng (Yakni
Ibunda Sawerigading);
Bahasa
Bugis
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Kuruq sumangeq anriq ponratu
Le muaseng gi belo jajareng maroeqe
Palaguna le goarie
Tekkuturusi rajung-rajummu
Pesewalimmu mutia simpeng masagalae
Ala rini le upatudang mulu jajareng ri laimmu
Tenna io mi anriq ponratu
Mulu jajareng ri sao denra manurungnge
Sining anukku, anummu maneng anri
Mugiling paleppangiaq rupa mabboja
Terjemahannya
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Kur semangat adinda
Tahukah engkau duhai hiasan balairungku yang ramai
Bulan purnama penghias bilikku
Kupenuhi seluruh keinginannmu
Tak ada lain yang duduk di balairungku selain engkau
Engkaulah satu-satunya adinda
Permaisuriku di istana agung manurung
Segala milikku, milikmu jua adinda
Berpalinglah memandangku dengan tatapan cinta
Menelusuri
Jejak We Tenriabeng
Salah
seorang pemeran utama wanita dalam Epos Lagaligo yang kurang terlihat
peranannya dalam pemerintahan Kedatuan Luwu adalah We Tenriabeng
(Tandiabe), saudari kembar Sawerigading.Permaisuri dari Remmang ri Langi alias
Hulontalangi (Raja pertama Gorontalo) alias Tamboro Langi(Tokoh sejarah suku
Toraja) ini, sesungguhnya pernah tampil sebagai Datu di Luwu, mengisikekosongan
kekuasaan Pasca Batara Lattu. Kekosongan kekuasaan terjadi karena Tana Luwu
ditinggal pergi oleh Sawerigading, yang bersumpah tidak akan kembali lagi
ke Tana Luwu.
La
Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade,
putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang ...telah hidup
berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan
melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade
mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi.
Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang
beberapa negeri sekitar Teluk Tominidan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu.
Serigade memimpin pasukan berkeris sementaraHulontalangi memimpin pasukan yang
menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat keTiongkok untuk mencari
seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.Setelah
berjumpa, ia langsung menikahinya
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu,
pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya
menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan BugisLuwu'. Rawe
kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo
Menurut
masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembarayang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila.
Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama
Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut
berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang
Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo
saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena
hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna
'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian
berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3ANr0dHvPZO30J%3Awww.gorontalo-info.20megsfree.com%2Fasb.html+hulontalangi+tilong+kabila&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
Nama-Nama
Raja Luwu yang yang terdapat dalam Silsilah Melayu dan Bugis pada masa Galigo
menurut
Buku Andi Djemma Datu Luwu
- SITI
MALANGKE (Datue ri Malangke’?) ratu di tanah Bugis Silayang.
- DATU
PALINGI’I (Datu Palinge’ ?) : buku Galigo : Mutia Unru’ Datu Palinge ri
Senrijawa, permaisuri La Patiganna Aji’ Sangkuru Wira, Patoto’-e).
- PATUTUI’
(Galigo : Patotoe, suami Mutia Unru’ Datu Palinge’, jadi bukan anaknya
Datu Palinge,nama asli La Patiganna).
- BETARA
GURU (Galigo : La Toge’langi bergelar Batara Guru, Raja Pertama Luwu’).
- BETARA
LATTO’ ( Galigo : La Tiuleng, bergelar Batara Lattu’, Raja Luwu II).
- TATA
(Galigo: La Tenritatta’, Pajung Masagalae ri Luwu’, Raja Luwu III dan
terakhir pada periodeGaligo).
- SAUNG
RI WARA’ LATTALAKA (Saung ri ware’?) naskah GALIGO: SIMPURUSIANG, anak
WeTenri Abeng, saudara kembar Sawerigading, dan Remmang ri Langi’: raja
pertama periode Lontara’Sejarah).
- SIAJANGE
KURINNA (Lontara’ : ANAKAJI yang kawin dengan We Tappacina, anak Datue
riMACCAPAI (MAJAPAHIT) : Datu Luwu II).
SOMBA
OPU PERTAMA
SAWERIGADING
(Galigo: La Maddukelleng To Appanyompa bergelar Sawerigading, Opunna
Ware’-tidak pernah menjadi Raja Luwu’. Ia adalah suami We Cudai Daeng Ri Sompa,
Datunna Tana Ugi’(Ratu Bugis II). LA GALIGO (Galigo: La Galigo To Padammani,
Datunna Tana Ugi’ III pun tidak pernah menjadi Raja Luwu’).
Meski
tidak tercatat sebagai Raja di Luwu, nama Sawerigading justru tercatat sebagai
Raja di KerajaanGowa. Menurut Forum Award Clasical Studies Britannica Internet
Guide Award. Sawerigading tercatatsebagai Raja ke-3 Kerajaan Gowa. Catatan ini
dapat menjadi indicator kuat bahwa yang menjadiSomba Opu pertama adalah
Sawerigading. Somba Opu dapat bermakna: Raja di Kerajaan Gowa namuntidak pernah
memerintah (jadi Raja) di Kerajaan Luwu. Berikut Silsilah Raja Gowa menurut
sumber tersebut.
First
Dynasty:
Batara
Guru I
Batara
Lettu
Saweri
Gading……………………………….
Letta
Pareppa
Simpuru
Siyang
Anekaji
Punyangkuli
La
Malolo
Second
Dynasty :
Ratu
Sapu Marantaiya………………………….
Karaeng
Katangka I
Ka-Karaeng-an
Bate Salapang :
1.
Karaeng Garassi
2.
Karaeng Katengang
3.
Karaeng Parigi
4.
Karaeng Siang………………………………..
5.
Karaeng Sidangraye
6.
Karaeng Lebangan
7.
Karaeng Panaikang
8.
Karaeng Madulo
9.
Karaeng Jampaga
JEJAK
WE TENRIABENG
Dari
Buku Ritumpanna Walenrengnge, yang mengutip sumber silsilah dari Fredericy,
diketahui bahwa ketika kekosongan kekuasaan Kerajaan Luwu pasca Batara Lattu,
menyusul kepergian Sawerigading meninggalkan Luwu dan kemudian penolakan
Lagaligo menjadi Raja Luwu, maka tampuk kekuasaanKerajaan Luwu diserahkan
kepada We Tenriabeng, saudari kembar Sawerigading. Penolakan Lagaligo bin
Sawerigading menjadi Datu di Luwu memperpanjang masa kekuasaan WeTenriabeng.
Bahkan Letta Pareppa, anak We Tenriabeng buah perkawinannya dengan Remmang
riLangi pun sempat tampil memerintah di Luwu, sebelum kekuasaan tersebut
diserahkan kepada LaTenri Tatta bin Lagaligo, sebagai orang yang berhak
mewarisi Kedatuan Luwu. Usai prosesi penyerahan kekuasaan kepada La Tenri
Tatta bin Lagaligo, giliran pasutri We Tenriabeng dan Remmang ri Langi yang
meninggalkan Tana Luwu. Ke mana rimbanya? W Allahu a’lam bisshawab. Namun
tak lama setelah prosesi tersebut, lahirlah Kerajaan Siang di Pangkep.
Bersamaan dengan hal tersebut, Letta Pareppa bin Remmang ri Langi justru tampil
sebagai Raja ke-4 di Kerajaan Gowa menggantikan Sawerigading. Dan tradisi Datu
di Kerajaan Tanete Barru yang merupakan penerus dari Kerajaan Sawwammegga yang
selalu di pegang dari Kaum Ibu, menjadi indikator kuat bahwa jejak langkah
We Tenriabeng sesungguhnya tercium di pesisir barat Sulawesi Selatan. Tak
diragukan lagi beliaulah yang diberi gelar Karaeng Kodingareng, pendiri
Kerajaan Siang pada tahun 1112 Masehi, sebagaimana yang dituliskan AZ. Abidin
dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in SouthSulawesi” halaman 458:
Tome
Pires asserted that there were more than fifty rajahs in Sulawesi, which was
abundant in food,and that the inhabitatants of Makassar (South Sulawesi) were
the greatest pirates in the world and were much respected. M. Gordinho de
Eredia, a halfcaste Portuguese, whose mother was a Bugisnoblewoman of Suppa’,
gives us information that Siang is older than Gowa, and was faounded by
Godinaro
(Karaeng Kodingareng?) in 1112 during the reign of Dom Alfonso, the first king
of Portugal and Pope Pascal II [Pelras 1973, unpublished lecturer]. Haji
Kulle, who has read the Lontara’ Siang,told us that the fisrt ruler of Siang
called Karaeng Kodingareng was a daughter of a king of Luwu’,eventhough he was
not able to disclose the governance of Siang, except that the queen was
assisted bya council of tribal chiefs.
Usai
mendirikan Kerajaan Siang dan menyerahkannya kepada anak cucunya beliau pindah
ke Tenggaradan mendirikan kerajaan di sana. Tak heran jika nama Tenriabeng di
Sulawesi Tenggara pun dikenalsebagai Tandiabe. Lagaligo di Sulawesi Tenggara
menyebutkan hal tersebut. Wilayah kekuasaan pasutriini (Remmang ri Langi dan We
Tenriabeng) sungguh sangat luas. Karena Remmang ri Langi aliasHulontalangi
adalah orang yang mendirikan Kerajaan Hulontalo (Gorontalo). Daerah kekuasan
pasutriini memanjang dari Gorontalo hingga ke Bima. Di Bima ada dikenal sebuah
Gunung bernama GunungTamboro yang dapat diduga diambil dari nama Tamboro Langi
alias Remmang ri Langi aliasHulontalangi. We Tenriabeng di Gorontalo bergelar
Tilo Pudelo. Hasil wawancara dengan seorangKepala Desa di Bone Bolango Propinsi
Gorontalo, tak ada makna untuk Tilo Pudelo. Yang adamaknanya adalah Pilo Pudelo,
yang berarti “orang yang ditempati menitipkan sesuatu”. Boleh jadimakna dari
Tilo Pudelo adalah “orang yang dititipkan”. Dan We Tenriabeng sejatinya memang
pernahdititipkan ke Hulontalangi ketika Sawerigading hendak mempersunting
saudara kembarnya tersebut.Buah pernikahan Pasutri Remmang ri Langi dan We
Tenriabeng melahirkan Letta Pareppa kemudianmenikah dengan Simpurutoja, saudara
seibu sebapak La Galigo, alias seorang putri hasil perkawinanSawerigading dan
We Cudai. Dari hasil perkawinan ini melahirkan Simpurusiyang, yang
kemudianmenikah dengan Pati Anjala, Putri kandung dari Lagaligo. Perkawinan
Simpurusiyang dan Pati Anjalamelahirkan Anakaji, yang mempersunting putri
Majapahit.
AZ. Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 463,menuliskan dengan keterangan yang agak berbeda, sebagai berikut:
AZ. Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 463,menuliskan dengan keterangan yang agak berbeda, sebagai berikut:
According
to LSW, those vassals of Luwu’ were given as a wedding present by the Second
Datu Luwu’, Anakaji of the King of Mancapai’ (Majapahit?) We estimate that
Anakaji ruled the end of the thirteenthcentury. According to a Lontara’ Luwu’
kept by Andi Sumange’rukka, Datu Pattojo in Soppeng, Lontara’ Cod Or 5449
and NB 208 of the university of Leiden and a genealogy of Andi’ Paramata
inSengkang, his father was Simpurusiang, the first To Manurung during the
Lontara’ period. Some Lontara’ depict him as the youngest son of
Sawerigading.
Perbedaan
data ini boleh jadi lantaran perbedaan interpretasi akan makna kata
Youngest
Son of Sawerigading
Ada yang memaknai nya sebagai anak, ada yang memaknai nya sebagai cucu, atau
bahkan ada yang memaknainya secara luas sebagai keturunan Sawerigading. Nah,
kalau sudah dimaknai sebagai keturunan, maka hingga berapa turunan (generasi)
pun pemaknaan tersebut tidak dapat dipersalahkan
SEBUAH
HIKMAH
Sawerigading
dan Lagaligo memang tidak pernah menjadi Datu di Luwu. Namun La Tenri Tatta,
anak kandung Lagaligo, akhirnya menjadi Datu di Luwu, memenuhi keinginan
leluhurnya Batara Guru danBatara Lattu serta segenap rakyat Luwu pada masa itu.
Bahkan sumber data lain meyakininya menjadiPayung Luwu pertama.Datu di Luwu
belum tentu seorang Payung. Tapi Payung Luwu sudah jelas seorang Datu. Ada
ekstra
kompetensi
yang harus dipenuhi seorang Datu jika ingin menjadi Payung. Mereka harus
menempuhujian di “Tanah Bangkala” selama tujuh hari tujuh malam. Dan La Tenri
Tatta berhasil melewati ujian tersebut hingga dilantik menjadi Payung Luwu yang
pertama.
Sejatinya,
apa yang terjadi antara La Tenri Tatta bin Lagaligo dengan Letta Pareppa bin
Remmang riLangi hanyalah pertukaran wilayah kekuasaan. Hikmah penting yang
dapat dipetik dari peristiwa ini adalah “pemenuhan amanah kepada yang berhak.”
Sawerigading melalui keturunannya kembali mendapatkan haknya, sementara We
Tenriabeng melalui Letta Pareppa juga memperoleh haknya melalui “TANAH YANG
DIJANJIKAN” oleh Batara Lattu di Gowa (dulu Somba Opu).
Inilah
pelajaran penting dari leluhur yang telah lama terabaikan saat ini, hingga
negeri kita saat ini terpenuhi dengan watak koruptor. Pelajaran penting lain
yang dicontohkan oleh We Tenriabeng dan Remmang ri Langi adalah kebesaran Jiwa
(Karayaan/Karaengang) melepas yang bukan haknya untuk diberikan kepada
yang berhak.
Masya
Allah...., leluhur orang Sulawesi rupanya telah ribuan tahun mempraktekkannya,
pada saat para generasinya ribuan tahun kemudian hanya pandai
memperbincangkannya.
DAFTAR
RAJA RAJA LUWU
(Sumber
: Towarani 1407 Dikutip dari: Blog Gitalara)
--------------------------------------------------------------
- Batara Guru (Londong
Mawale) raja pertama.
- Batara Lattu (Putera Batara
Guru).
- Simpurusiang (Putera We
Tenriabeng yang bersaudara kembar dengan Sawerigading, cucu dari Batara
Lattu) 1300.
- Anakaji (Putera
Simpurusiang. Inilah yang kawin dengan putra Majapahit bernama We
Tappacina).
- Tanpa Balusu (Putera
Anakaji).
- Tanra Balusu (Putera Tanpa
Balusu).
- Toappanange (Putera Tanra
Balusu).
- Batara Guru II (Putera
Toappanange.)
- Lamariawa (Putera Tanpa
Balusu).
- Datu Risaung Le’bi (Putera
Batara Guru II).
- ManinggoE ri Bajo (Putera
Datu Risaung Le'bi'i).
- Tosangkawana (Kemanakan
ManinggoE ri Bajo).
- Datu Maoge (Kemanakan
Tosangkawana).
- We Tenriawe (Sepupu sekali
Datu Maoge).
- Patiarase' 1580-1615
(Putera We Tenriawe, Raja Luwu pertama yang masuk Islam).
- Pati Passaung Sultan
Abdullah MatinroE ri Patimang Putera Patiarase'. Kawin dengan KaraengBalla
Bugisi dari Gowa 1615 – 1637.
- Petta MatinroE ri Gowa
(Putera Pati Passaung).
- Settiaraja (MatinroE ri
Tompo' tika' (Putera Petta Mattiroe ri Gowa.
- MatinroE ri Pilka (Sepupu
sekali Settiaraja).
- Settiaraja (Kedua kali
jadi raja).
- To Palaguna MatinroE ri
Langkanana Putera Settiaraja. Raja inilah yang kawin dengan WePatteketana
Daeng Tanisanga (Datu Tanete XIII).
- Batari Tungke Sultanat
Fatimah MattinroE ri Patturu putri To Palaguna).
- Batari Toja Sultanat Sitti
Sainab MatinroE ri Timpuluna sepupu sekali Batari Tungke, ia juga menjadi
Mangkau di Bone dan Dati di Soppeng, Istri La Patau Matanna Tikka, Raja
Bone).
- We Tenrileleang (Puteri
Batari Tungke').
- La Kaseng MatinroE ri
Kaluku BodoE (Sepupu We Tenrileleang).
- We Tenrileleang kedua
kalinya menjadi Datu Luwu).
- La Tenripeppang (Putera La
Kaseng).
- We Tenriawaru Puteri
Latenri Peppang. Kawin dengan Mappoleonro, Datu Soppeng ke 28.
(1765-1820).
- Laoddampero (Putera We
Tenriawaru).
- Patipatau Toappanyompa
(Putera Laoddarnpero), MatinroE ri Tomalullu (Putera We Tenriawaru).
- Iskandar Opu Daeng Pali
(Kemanakan MatinroE ri Tomalullu).
- Andi Kambo Opu Daeng
Risompa MatinroE ri Bintara (Putera Patipatau To Appa-nyompa).
- Andi Djemma (Putera Andi
Kambo).
- Andi Jelling (Paman Andi
Djemma).
- Andi Djemma (Untuk kedua
kalinya, setelah Republik Indonesia).
MENELUSURI
PERIODESASI KEDATUAN LUWU
Masih
banyak yang menjadi misteri akan susunan di atas. Periode Raja-raja atau Datu
tersebut masih jarang dicantumkan. Nama Dewaraja pun tidak tercantum dalam
daftar. Demikian juga Putra penggantinya yang bernama Sanggaria, pun tidak
tercantum. Padahal nama kedua Raja ini dikenaldalam berbagai Lontara Sulawesi
Selatan hingga di Kerajaan-kerajaan Melayu. Jawaban atas misteri inidapat
diduga, bahwa baik Dewaraja maupun Sanggaria adalah nama asli kedua Raja
tersebut. KeduaRaja Luwu ini tetap tercantum dalam daftar dari sumber di atas
dalam bentuk gelar mereka masing-masing. Lalu manakah gelar dari kedua Raja
ini? Mari kita telusuri bersama.
PERIODESASI
KERAJAAN SIANG
Dalam
buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi” halaman 458, AZ.
Abidin menuliskan:
Tome
Pires asserted that there were more than fifty rajahs in Sulawesi, which was
abundant in food and that the inhabitatants of Makassar (South Sulawesi) were
the greatest pirates in the world and were much respected. M. Gordinho de
Eredia, a halfcaste Portuguese, whose mother was a Bugisnoblewoman of Suppa’,
gives us information that Siang is older than Gowa, and was faounded byGodinaro
(Karaeng Kodingareng?) in 1112 during the reign of Dom Alfonso, the first king
of Portugal and Pope Pascal II [Pelras 1973, unpublished lecturer]. Haji
Kulle, who has read the Lontara’ Siang,told us that the fisrt ruler of Siang
called Karaeng Kodingareng was a daughter of a king of Luwu’,eventhough he was
not able to disclose the governance of Siang, except that the queen was
assisted bya council of tribal chiefs.
AZ.
Abidin dalam buku "The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi”
halaman 463,menuliskan dengan keterangan yang agak berbeda, sebagai berikut:
According
to LSW, those vassals of Luwu’ were given as a wedding present by the Second
Datu Luwu’, Anakaji of the King of Mancapai’ (Majapahit?) We estimate that
Anakaji ruled the end of the thirteenthcentury. According to a Lontara’ Luwu’
kept by Andi Sumange’rukka, Datu Pattojo in Soppeng, Lontara’ Cod Or 5449
and NB 208 of the university of Leiden and a genealogy of Andi’ Paramata
inSengkang, his father was Simpurusiang, the first To Manurung during the
Lontara’ period. Some Lontara’ depict him as the youngest son of
Sawerigading.
Sumber
di atas cukup membantu menyebutkan berdirinya Kerajaan Siang pada tahun 1112
Masehiserta periode Anakaji, Datu kedua Luwu periode Lontara’ yang ditaksir
berada pada akhir abad ke-13,atau akhir tahun 1200-an yang sangat dibutuhkan
menelusuri periode Datu-datu Luwu. Hal ini relevandengan periode yang
dicantumkan Daftar Raja Gowa yang dikeluarkan oleh Inggris di atas,
yangmencantumkan periode Simpurusiyang pada tahun 1200 Masehi, yang juga telah
memberi data periodesasi Sawerigading pada 1000 Masehi, yang relevan
dengan periode We Tenriabeng pada saat yang sama.DEWA RAJA DATU KELALI’Untuk
menelusuri siapakah Dewaraja maupun Sanggaria, petunjuk terdekat yang dapat di
pedoman iadalah PATIARASE yang berperiode 1580 – 1615. Petunjuk lain adalah
periodesasi Dewaraja sendiri.Masalah yang ditemui pada periodesasi Dewaraja
adalah setidaknya ada 2 sumber berbeda yang menuliskan periodesasi beliau. AZ
Abidin dalam The Emergency of Early Kingdom in South Sulawesi halaman 463 menuliskan:
Since
Lontara’s Luwu do not mention the dates and the lengths of the king’s reigns,
we have to consult Lontara’s of Wajo’ and Bone, and the diaries of
Gowa and Tallo’ (Lontara Bilang of Gowa). For example, LSW provides us
with data concerning the eleventh king of Luwu’, To Sangereng,
titled Dewaraja Datu Kelali’ (li. The King with a cockscomb), while
living in (a place in Bone), he made atreaty with the second Arung Matoa Wajo’,
La O’bi’ Settiriware’. By using Noorduyn’s method (1965:145-146) (i.e. counting
backward chronologycally starting from time when Islam was adopted in
Wajo’ in 1609), we are able to determine the reigns of Settiware’ and the
first Arung Matoa. Thus, the reign of Settiware’ is assigned to about 1482
to 1487. To Sangereng Dewaraja concluded a second treaty
of friendship with the fourth Arung Matoa Wajo’ La Tadampare’ Puang
ri Ma’galatung (1491-1521) toattack Sidenreng. This treaty is called Singkeru’
Patolae ri Topaccedo’, the treaty of Topaccedo’. After Sidenreng was
defeated by Luwu’ and Wajo’, the Datu Luwu’ attacked Bone, but was defeated and
had to conclude a treaty with La Tenrisukki’, the fifith king of Bone.
During the last phase of the reign of Arung Matoa Wajo’ La
Tadampare’, Wage, Tampangeng Singkang (Modern Sengkang) and Tempe and all
vassals of Luwu’ were annexed by Wajo’.
SUMBER
LAIN DARI MELAYU:
Kemangkatan
Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti.
Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan
Luwuk dituntut olehSanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya
mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan
Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui
kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas
tindakan Wajo' yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan
Wajo' terpaksa menukar ikrar setia dari Luwuk kepada Goa. Sanggaria kemudiannya
dibenarkan menjadi raja Luwuk tanpa kuasa.
Dari
kedua sumber di atas, data tentang periodesasi Sanggaria yang berada pada tahun
1535 makinmendekatkan kita pada periode Patiarase yang dimulai tahun 1580.
Bantuan yang cukup berarti diperoleh dari tulisan ANDI ODDANG yang berjudul
KERAJAAN
BELAWA, NEGERI DI BATAS PERSIMPANGAN SEJARAH.
Berikut
kutipannya:
Sebagaimana
tersebut pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), bahwa pada penghujung abad XV terjadi peristiwa
Rumpa'na Sidenreng , yakni perang berkepanjangan antara Kerajaan
Luwu dan KerajaanSidenreng yang melibatkan kerajaan-kerajaan lain di
sekitarnya. Kemurkaan Pajung Luwu XVI yang bernama La Dewaraja To
Sengereng Daeng Kelalik Petta MatinroE ri Bajo pada La
Pateddungi Addaowang Addatuang Sidenreng IV mencetuskan peperangan
diantara kedua negeri besar yang berpengaruh itu. Sementara itu, Sidenreng
sebagai pihak "bertahan" mendapat dukungan dari 4kerajaan tetangganya,
yaitu : Belawa, Rappeng, Bulu Cenrana dan Otting sehingga mampu bertahandari
gempuran pasukan Luwu yang sebenarnya lebih besar. Hal inilah yang memaksa
Pajung Luwusendiri melakukan muhibah ke Wajo untuk meminta bantuan Arung Matoa
Wajo yang kala itu sedangdijabat oleh La Tadampare' Puang ri
Maggalatung . Ketika perjalanan rombongan baginda tiba diTopaceddo',
dikirimlah utusan kepada Arung Matoa sambil membawa hadiah (oleh-oleh ?) berupa
: 3orang Ata (budak), 3 pasang sampu (sarung sutera) dan 3 pasang gelang emas
sebagai pembuka kata penyampaian permohonan kiranya Arung Matoa berkenan
ke Topaceddo' untuk menemui PajungngE.
Kata
kunci yang sangat membantu kita menemukan siapa Dewaraja dalam Daftar susunan
Raja Luwu melalui tulisan Andi Oddang di atas adalah PETTA MATINROE ri BAJO,
yang relevan dengan kata MANINGGO E ri BAJO dalam daftar susunan di atas. Angka
1530 pada Dewaraja adalah tahun tutup usianya. Adapun tahun kelahiran beliau
belum diketahui, namun dapat ditaksir dengan melihat periode the second Arung
Matoa Wajo’, La O’bi’ Settiriware’. 1482 to 1487 atau La Taddampare’ Puang
riMa’galatung dari Wajo tahun 1491 – 1521 Masehi, dalam catatan AZ Abidin di
atas.
Dengan Memadukan Berbagai Sumber Data Berbeda
Tentang Daftar Raja-Raja Luwu ( Datu )
|
|
Raja
Luwu ( Datu )
|
Penjelasan
|
1.
SITI MALANGKE
|
|
2.
DATU PALINGI’I
|
|
3.
PATUTUI’
|
|
4.
BETARA GURU
|
|
5.
BETARA LATTO’
|
|
6.
WE TENRIABENG
|
1000 Masehi
|
7.
LA TENRI TATA
|
1100 Masehi
|
8.
LETTA PAREPPA
|
1110 Masehi
|
9.
SIMPURUSIANG
|
1200 Masehi
|
10.
ANAKAJI
|
Akhir 1200 Masehi
|
11.
Tanpa Balusu (Putera Anakaji).
|
Awal 1300 Masehi
|
12.
Tanra Balusu (Putera Tanpa Balusu)
|
|
13.
To Appanange (Putera Tanra Balusu)
|
|
14.
Batara Guru II (Putera Toappanange)
|
|
15.
Lamariawa (Putera Tanpa Balusu)
|
|
16.
Datu Risaung Le’bi (Putera Batara Guru II)
|
|
17. Dewaraja/Datu
Kelali’ ManinggoE ri Bajo
|
1400 – 1530 Masehi
|
18.
Tosangkawana (Kemanakan ManinggoE ri Bajo)
|
1530 – 1535 Masehi
|
19.
Sanggaria/Datu Maoge (Kemanakan Tosangkawana)
|
1535 – 1550 Masehi
|
20.
We Tenriawe (Sepupu sekali Datu Maoge)
|
1550 – 1580 Masehi
|
21.
Patiarase'
|
1580 - 1615 Masehi
|
22.
Pati Passaung Putera Patiarase'
|
1615 – 1637 Masehi
|
23.
Petta MatinroE ri Gowa (Putera Pati Passaung)
|
1637 - …… Masehi
|
24.
Settiaraja
|
|
25.
MatinroE ri Pilka (Sepupu sekali Settiaraja)
|
|
26.
Settiaraja (Kedua kali jadi raja)
|
|
27.
To Palaguna MatinroE ri Langkanana
|
|
28.
Batari Tungke
|
|
29.
Batari Toja
|
|
30.
We Tenrileleang (Puteri Batari Tungke')
|
|
31.
La Kaseng MatinroE ri Kaluku BodoE ( Sepupu We Tenrileleang )
|
|
32.We
Tenrileleang (kedua kalinya menjadi Datu Luwu)
|
|
33.
La Tenripeppang (Putera La Kaseng)
|
– 1765 Masehi
|
34.
We Tenriawaru Puteri Latenri Peppang
|
1765 - 1820 Masehi
|
35.
La Oddampero (Putera We Tenriawaru)
|
1820 - ….. Masehi
|
36.
Patipatau ToAppanyompa (Putera La Oddarnpero)
|
|
37.
MatinroE ri Tomalullu (Putera We Tenriawaru)
|
|
38.
Iskandar Opu Daeng Pali (Kemanakan MatinroE ri Tomalullu)
|
|
39.
Andi Kambo Opu Daeng Risompa (Putera Patipatau Toappanyompa).
|
|
40.
Andi Djemma (Putera Andi Kambo)
|
|
41.
Andi Jelling (Paman Andi Djemma)
|
|
42.
Andi Djemma (Untuk kedua kalinya, setelah Republik Indonesia)
|
Masih
banyak dari susunan Datu dari daftar di atas yang bersifat misteri karena belum
teridentifikasi periodenya. Dan dari 42 orang Datu yang tertulis dalam
daftar ini, minimal ada 3 Raja yang dituliskan sebanyak dua kali dalam
daftar karena dua kali tampil menjadi Raja Luwu, yakni; SETTIARAJA, WE
TENRI LELEANG dan ANDI DJEMMA. Jadi sesungguhnya, jumlah Raja atau Datu yang
pernah memerintah di Kedatuan Luwu hanya ada 39 orang.
LUWU
DAN GADJAH MADA
Yang
sangat menantang untuk ditelusuri adalah periode antara Tanpa Balusu (Putera
Anakaji) yang berada pada awal 1300 Masehi hingga sebelum Dewaraja/Datu
Kelali’ pada akhir 1400 – 1530 Masehi. Sangat menantang, karena dalam periode
inilah bersinggungan dengan periode Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah
PALAPA (sebagaian lagi orang Jawa menyebutnya Sumpah PALOPO). Periode Gadjah
Mada adalah 1299-1364 Masehi. Mungkin benar Gadjah Mada tidak terlahir di Luwu
atau di Sulawesi, tapi beberapa pihak justru meyakininya sebagai orang
Sulawesi, sama seperti keyakinan beberapa sejarawan Lokal dan nasional bahwa
kata PALAPA atau PALOPO ini erat kaitannya dengan SUMPAH PALAPA (PALOPO) yang
diucapkan GADJAH MADA.
Hipotesa
yang penulis kembangkan adalah Gadjah Mada yang gagal mempersunting DYAH
PITALOKA karena sang putri bunuh diri, akhirnya berlabuh ke Palopo dan
menanggalkan SUMPAH PALAPA di PALOPO? Boleh jadi salah satu dari nama-nama
berikut ini, yakni; Tanra Balusu (PuteraTanpa Balusu), To Appanange (Putera Tanra
Balusu), Batara Guru II (Putera Toappanange), Lamariawa(Putera Tanpa Balusu),
Datu Risaung Le’bi (Putera Batara Guru II), yang belum
teridentifikasi periodenya adalah nama lain atau gelar Sang Gadjah Mada di
Kerajaan Luwu? Who was to know?
Tak
ada ada salahnya berhipotesa, apalagi jika hipotesa tersebut sangat didukung
oleh beberapa keterangan-keterangan yang menguatkan hipotesa tersebut ke arah
fakta. Sejarah bukanlah Agama yang harus diyakini 100 persen. Karena “TAK ADA
KEBENARAN TUNGGAL DALAM SEJARAH”.
Referensi
: Dirangkum dari berbagai sumber
Epos Lagaligo
La galigo sebagai salah satu karya
sastra yang mempunyai stuktur cerita yang besar, yang juga memuat beberapa
sub-sub cerita yang terkandung didalamnya. Setiap sub cerita yang selanjutnya disebut
episode, dapat dilihat dalam dua dimensi. Di satu sisi ia merupakan bagian
cerita dari keseluruhan konstruksi la galigo, namun disatu sisi lain ia juga
mempunyai cerita tersendiri dalam bingkai La Galigo. Jadi La Galigo mempunyai
satu alur yang besar, yang didalamnya terdiri atas kumpulan beberapa episode,
yang setiap episode juga mempunyai alur tersendiri, yang merupakan sub alur
dari la galigo secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan antara lain karena panjangnya cerita yang melingkupi setiap tokoh, sehingga kadang-kadang tidak tertampung hanya dalam satu episode. Kadang – kadang satu cerita terdapat pada dua atau tiga episode, hal itu tergantung banyaknya peristiwa yang diceritakan
Hal ini disebabkan antara lain karena panjangnya cerita yang melingkupi setiap tokoh, sehingga kadang-kadang tidak tertampung hanya dalam satu episode. Kadang – kadang satu cerita terdapat pada dua atau tiga episode, hal itu tergantung banyaknya peristiwa yang diceritakan
Alur Cerita Dari Epos La Galigo Dari
Tanah Bugis
Alur Cerita pada Bagan Diatas :
Pada episode sebelumnya, yakni episode
ritumpanna welenrengnge (Penebangan pohon welenrenge) diceritakan bahwa
Sawerigading putra mahkota dari raja luwuq ketika lahir, dalam keadaan kembar
emas yakni kembar laki-laki dan perempuan. Karena dikhawatirkan akan saling
jatuh cinta pada saat dewasa mereka berdua pun dipisahkan pada saat kecil dan
tidak diperkenankan untuk bertemu.
Malang tak dapat ditolak, semua
kekhawatiran yang selama ini ditakutkan tiba-tiba menjadi kenyataan dalam
sebuah pesta besar di istina luwuq. Tanpa sengaja sawerigading melihat adik
kembarnya We Tenriabeng. Saat itulah perasaan dan pikiran Sawerigading tidak
pernah tentram lagi siang dan malam yang terbayang hanyalah adik kembarnya we
tenriabeng.
Akhirnya perasaan itu ditumpahkannya dengan memberitahukannya dengan batara luwuq (Raja Luwuq). Dalam waktu sekejap batara Luwuq mengadakan rapat dewan adat untuk membicarakan masalah ini. Dan kesimpulannya peristiwa tersebut dianggap suatu pelanggaran adat yang sangat memalukan. Sebagai hukuman atas kelakuan sa werigading tersebut adalah pembuangan. Dan atas anjuran kembarnya we tenriabeng maka negeri yang dituju dalam pembuangan itu adalah negeri Cina. Karena di negeri cina terdapat putrid raja yang bernama I we cudai yang kecantikan dan kelembutannya tidak jauh beda dengan dirinya (we tenriabeng).
Dari sini lah bermula awal cerita inti dari la galigo yakni saat pelepasan sawerigading menuju negeri cina sampai tibanya dinegeri cina. Sementara itu seletah sawerigading pergi berlayar ke negeri cina, We Tenriabeng pun gaib ke botting langiq dan disana persta perkawinan We Tenriabeng menikah dengan Remmang Ri Langiq yang berlangsung dengan meriah dan tanpa di hadiri kedua orang tua We Tenriabeng.
Akhirnya perasaan itu ditumpahkannya dengan memberitahukannya dengan batara luwuq (Raja Luwuq). Dalam waktu sekejap batara Luwuq mengadakan rapat dewan adat untuk membicarakan masalah ini. Dan kesimpulannya peristiwa tersebut dianggap suatu pelanggaran adat yang sangat memalukan. Sebagai hukuman atas kelakuan sa werigading tersebut adalah pembuangan. Dan atas anjuran kembarnya we tenriabeng maka negeri yang dituju dalam pembuangan itu adalah negeri Cina. Karena di negeri cina terdapat putrid raja yang bernama I we cudai yang kecantikan dan kelembutannya tidak jauh beda dengan dirinya (we tenriabeng).
Dari sini lah bermula awal cerita inti dari la galigo yakni saat pelepasan sawerigading menuju negeri cina sampai tibanya dinegeri cina. Sementara itu seletah sawerigading pergi berlayar ke negeri cina, We Tenriabeng pun gaib ke botting langiq dan disana persta perkawinan We Tenriabeng menikah dengan Remmang Ri Langiq yang berlangsung dengan meriah dan tanpa di hadiri kedua orang tua We Tenriabeng.
Episode setelah Sawerigading tiba di
cina, Menggambarkan Bagaimana Sawerigading Menyamar menjadi Ono (Hamba) Dan
menyamar menjadi Penjual-Jual. Menyamaran tersebut dimaksudkan hanya untuk
melihat Wajah We Cudai. Setelah melihat wajah We Cudai Sawerigading pun
melamarnya. Tapi saying sekali lamaran Sawerigading ditolok oleh raja cina.
Maka peperangan pun tak bias dielakkan. Setelah Sawerigading mengalahkan
pasukan raja cina. Barulah perkawinan dilangsungkan antara Sawerigading dan We
Cudai. Dari Perkawinan Sawerigading dan We Cudai ini Lahirlah Putera
Sawerigading yang Bernama I La Galigo, yang selanjutnya menjadi sangat terkenal
dan menjadi Judul dari Epik Besar La Galigo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar